Get Lost in Kotabaru : Teluk Tamiang (part #1)

Rasanya gak afdol banget deh pas nonton Mappanretasi di Pagatan tempo hari itu, tanpa ikut arak-arakan kapalnya melarung di tengah laut. 

Secara saya gak mungkin nyusul dengan berenang ㇐takut dimakan hiu, lagian saya gak bisa berenang juga sih㇐ akhirnya cuma bisa mandangi dari kejauhan. Itupun yang keliatan cuma titik-titik.

Tapi emang dasar rezeki. Gak berapa lama setelah itu, seorang temen ngasih tau ada yang mau ngundang ke acara Mapparentasi, tempatnya di Desa Teluk Tamiang, Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar. 

Karena diundang, jadi dijamin bisa ikut ke tengah laut, cihuy!

㇐ah, jadi ngapain ya kemaren itu bela-belain ke Pagatan?

Katanya pantai di Teluk Tamiang indaaaaah banget. Malah kata temen saya, Pantai Pagatan gak ada seujung kukunya. Yang saya tau sih, Teluk Tamiang itu terkenal sama keindahan terumbu karangnya. 

Eniwei penginapan saya dan segala tetek bengeknya selama di Teluk Tamiang ditanggung panitia. Jadi, masih perlu alasan untuk gak bela-belain ke Teluk Temiang? Hehe...

Jalan Menuju Surga

Yang saya gak pernah tau, jalan dari Kotabaru ke Teluk Temiang itu jauuuuuuuh dan ancuuuuuuuuuuuur.

Sebenernya sih gak jauh-jauh banget. Normalnya bisa ditempuh 3-4 jam, 145 km aja dari Kotabaru. 

Tapi karena kondisi jalannya, ditambah sopirnya suka brenti-brenti dan sekali brenti lama, waktu tempuh itu jadi berlipat-lipat, sama kayak dari Banjarmasin ke Kotabaru yang jaraknya 300 km lebih.

Dari Kotabaru, saya naik bus mini di Terminal Higa Gunung, tarifnya Rp 40 ribu. Busnya penuh. Untung gak desak-desakkan. 

Pertama-tama saya mikir, ah jalannya biasa aja. Gak mulus, tapi gak seancur yang orang-orang gembar-gemborkan. Saya pernah lewat jalan yang lebih parah.

Tapi begitu masuk perbatasan Kecamatan Pulau Laut Tengah dan Pulau Laut Barat, baru saya ngeh.

Ini sih gak ancur lagi namanya, tapi ancur parah nauzubillah... Saking parahnya, hampir-hampir gak bisa dilewati lagi, nyaris putus, apalagi kalo hujan. Kendaraan kayak berenang di lumpur, gak jarang amblas dan menyebabkan kemacetan panjang.

Bus yang saya tumpangi memutar lewat jalan PT Inhutani. Itupun gak lebih baik juga kondisinya, tanah merah mirip lintasan off road. Maknyuuuus… 

Masih jauh enakan naik speed biar kata rasanya kayak kamu dimasukin dalam kotak kayu trus dihempas-hempas ke lantai. Udah gitu rasanya jalannya gak berujung, gak sampe-sampe, karena rutenya memutar sehingga tambah jauh. Mana hutan yang dilewati.

Jadi, saya berangkat dari Kotabaru sekitar jam setengah 12 siang, nyampe Teluk Tamiang sekitar jam setengah tujuh malem. Tapi busnya gak nganter sampe pantainya. Saya turun di simpang tiga, dari situ sambung naik ojek.

Bukan ojek sih sebenernya, saya dianter oleh penduduk setempat. Saya mencoba menghubungi orang yang ngundang saya, tapi gak diangkat-angkat. 

Saya gak tau dari situ harus kemana. Untung ada ibu sama seorang ABG yang turun bareng saya dari bus di simpang tiga itu.

Ibu itu tinggal di Teluk Tamiang. Dia lalu menelepon, terus katanya ke saya, nanti ada keluarganya yang jemput saya buat nganterin ke Teluk Tamiang.  

"Deket aja," kata ojek saya.

Dalam benak saya, “deket” itu terdengar seperti dari simpang tiga itu ke Teluk Temiang paling 5-10 menit. Ternyata, gak taulah berapa menit gak ngitung, lama pokoknya. 

Sebenernya dari simpangan ke Desa Teluk Tamiang jaraknya cuma empat kilometer. Tapi jalannya hmmm… sedap… gelap pula. Jadi kendaraan harus pelan-pelan.

Well, perjalanan ke Teluk Tsmiang ini dipikir-pikir adalah sebuah filosofi, bahwa jalan menuju surga itu memang menuntut perjuangan dan susah payah.

Akhirnya, Naik Kapal!

Sampe di Teluk Tamiang, saya singgah di rumah panitia yang ngundang saya, Pak Borahim namanya. Istrinya namanya Bu Eli, cantik banget.  

Di rumah merekalah tempat saya nginap. Saya kaget pas tau umurnya Bu Eli ternyata lebih muda dari saya *meringis.

Tapi tetep aja saya manggilnya Bu Eli, karena saya manggil suaminya Bapak dan orang-orang juga memanggilnya begitu secara dia sehari-harinya guru ㇐padahal sih biar kesannya saya lebih muda aja gitu.

Saya gak pernah tau sebelumnya bahwa Mappanretasi itu adanya gak di Pagatan aja. Di tempat-tempat lain yang ada komunitas Bugis-nya di Kotabaru, ternyata juga ada Mappanretasi. Cuma gak sebesar dan semeriah di Pagatan dan gak terpublikasi.

Pelaksanaannya sekadar jadi ritual aja gitu, gak dijadikan agenda wisata. Pas kapan ya, saya denger di Desa Sarang Tiung Kecamatan Pulau Laut Utara ada Mappanretasi juga. Cuma waktu itu saya taunya telat, jadi gak sempet liat.

Mappanretasi di Teluk Tamiang baru sekali itu yang digelar meriah (meski gak semua tokoh masyarakatnya setuju). Tujuannya untuk menghidupkan pariwisata. 

Teluk Tamiang dengan keindahannya merupakan potensi yang sangat besar. Apalagi kalo dikelola dengan benar. Tapi dengan rupa jalan yang kayak orak-arik telor alias gak ada rupanya itu, siapa coba yang mau ke sana?

Anyway, ritual Mappanretasi di Teluk Tamiang mirip-mirip aja sama yang di Pagatan. Ada Sandro yang mimpin upacara, ada sesajen yang dilarung ke laut, yang gak ada cuma bendera enteng jodoh, ahaha ㇐padahal ngarep. Dan, akhirnya, saya naik kapal juga!

sandro, di samping miniatur kapal berisi sajen untuk dilarung

 
cantiiiik...bajunya
siap pawai
ombak pantai teluk temiang
diantar
siap dilarung

-to be continued-

Komentar