Rasanya gak afdol banget deh pas nonton Mappanretasi di
Pagatan tempo hari itu, tanpa ikut arak-arakan kapalnya melarung di tengah
laut.
Secara saya gak mungkin nyusul dengan berenang ㇐takut dimakan hiu,
lagian saya gak bisa berenang juga sih㇐ akhirnya cuma bisa mandangi dari kejauhan. Itupun yang keliatan cuma
titik-titik.
Tapi emang dasar rezeki. Gak berapa lama setelah itu,
seorang temen ngasih tau ada yang mau ngundang ke acara Mapparentasi, tempatnya
di Desa Teluk Tamiang, Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar.
Karena diundang, jadi
dijamin bisa ikut ke tengah laut, cihuy!
㇐ah, jadi ngapain ya kemaren itu bela-belain
ke Pagatan?
Katanya pantai di Teluk Tamiang indaaaaah banget. Malah
kata temen saya, Pantai Pagatan gak ada seujung kukunya. Yang saya tau sih,
Teluk Tamiang itu terkenal sama keindahan terumbu karangnya.
Eniwei penginapan
saya dan segala tetek bengeknya selama di Teluk Tamiang ditanggung panitia.
Jadi, masih perlu alasan untuk gak bela-belain ke Teluk Temiang? Hehe...
Jalan Menuju Surga
Yang saya gak pernah tau, jalan dari Kotabaru ke Teluk
Temiang itu jauuuuuuuh dan ancuuuuuuuuuuuur.
Sebenernya sih gak jauh-jauh banget. Normalnya bisa ditempuh 3-4 jam, 145
km aja dari Kotabaru.
Tapi karena kondisi jalannya, ditambah sopirnya suka
brenti-brenti dan sekali brenti lama, waktu tempuh itu jadi
berlipat-lipat, sama kayak dari Banjarmasin ke Kotabaru yang jaraknya 300 km
lebih.
Dari Kotabaru, saya naik bus mini di Terminal Higa Gunung, tarifnya Rp 40
ribu. Busnya penuh. Untung gak desak-desakkan.
Pertama-tama saya mikir, ah
jalannya biasa aja. Gak mulus, tapi gak seancur yang orang-orang
gembar-gemborkan. Saya pernah lewat jalan yang lebih parah.
Tapi begitu masuk perbatasan Kecamatan Pulau Laut Tengah dan Pulau Laut Barat,
baru saya ngeh.
Ini sih gak ancur lagi
namanya, tapi ancur parah nauzubillah... Saking parahnya, hampir-hampir gak
bisa dilewati lagi, nyaris putus, apalagi kalo hujan. Kendaraan kayak berenang di lumpur, gak
jarang amblas dan menyebabkan kemacetan panjang.
Bus yang saya tumpangi memutar lewat jalan PT Inhutani. Itupun gak lebih baik juga kondisinya, tanah merah
mirip lintasan off road. Maknyuuuus…
Masih jauh enakan naik speed biar kata
rasanya kayak kamu dimasukin dalam kotak kayu trus dihempas-hempas ke lantai. Udah
gitu rasanya jalannya gak berujung, gak sampe-sampe, karena rutenya memutar
sehingga tambah jauh. Mana hutan yang dilewati.
Jadi, saya berangkat dari Kotabaru sekitar jam setengah 12 siang, nyampe Teluk
Tamiang sekitar jam setengah tujuh malem. Tapi busnya gak nganter sampe
pantainya. Saya turun di simpang tiga, dari situ sambung naik ojek.
Bukan ojek
sih sebenernya, saya dianter oleh penduduk setempat. Saya mencoba menghubungi
orang yang ngundang saya, tapi gak diangkat-angkat.
Saya gak tau dari situ
harus kemana. Untung ada ibu sama seorang ABG yang turun bareng saya dari bus
di simpang tiga itu.
Ibu itu tinggal di Teluk Tamiang. Dia lalu menelepon, terus
katanya ke saya, nanti ada keluarganya yang jemput saya buat nganterin ke Teluk
Tamiang.
"Deket aja," kata ojek saya.
Dalam benak saya, “deket” itu terdengar seperti dari simpang tiga itu ke Teluk
Temiang paling 5-10 menit. Ternyata, gak taulah berapa menit gak ngitung, lama
pokoknya.
Sebenernya dari simpangan ke Desa Teluk Tamiang jaraknya cuma empat
kilometer. Tapi jalannya hmmm… sedap… gelap pula. Jadi kendaraan harus
pelan-pelan.
Well, perjalanan ke Teluk Tsmiang ini dipikir-pikir adalah
sebuah filosofi, bahwa jalan menuju surga itu memang menuntut perjuangan dan
susah payah.
Akhirnya, Naik Kapal!
Sampe di Teluk Tamiang, saya singgah di rumah panitia yang
ngundang saya, Pak Borahim namanya. Istrinya namanya Bu Eli, cantik banget.
Di rumah merekalah tempat saya nginap. Saya
kaget pas tau umurnya Bu Eli ternyata lebih muda dari saya *meringis.
Tapi
tetep aja saya manggilnya Bu Eli, karena saya manggil suaminya Bapak dan
orang-orang juga memanggilnya begitu secara dia sehari-harinya guru ㇐padahal sih biar kesannya saya lebih muda
aja gitu.
Saya gak pernah tau sebelumnya bahwa Mappanretasi itu adanya
gak di Pagatan aja. Di tempat-tempat lain yang ada komunitas Bugis-nya di
Kotabaru, ternyata juga ada Mappanretasi. Cuma gak sebesar dan semeriah di
Pagatan dan gak terpublikasi.
Pelaksanaannya sekadar jadi ritual aja gitu, gak dijadikan
agenda wisata. Pas kapan ya, saya denger di Desa Sarang Tiung Kecamatan Pulau
Laut Utara ada Mappanretasi juga. Cuma waktu itu saya taunya telat, jadi gak
sempet liat.
Mappanretasi di Teluk Tamiang baru sekali itu yang digelar meriah (meski gak
semua tokoh masyarakatnya setuju). Tujuannya untuk menghidupkan pariwisata.
Teluk
Tamiang dengan keindahannya merupakan potensi yang sangat besar. Apalagi kalo
dikelola dengan benar. Tapi dengan rupa jalan yang kayak orak-arik telor alias
gak ada rupanya itu, siapa coba yang mau ke sana?
Anyway, ritual Mappanretasi di Teluk Tamiang mirip-mirip aja
sama yang di Pagatan. Ada Sandro yang mimpin upacara, ada sesajen yang dilarung
ke laut, yang gak ada cuma bendera enteng jodoh, ahaha ㇐padahal ngarep. Dan,
akhirnya, saya naik kapal juga!
sandro, di samping miniatur kapal berisi sajen untuk dilarung |
cantiiiik...bajunya |
siap pawai |
ombak pantai teluk temiang |
diantar |
siap dilarung |
-to be continued-
Komentar
Posting Komentar