Sheila

Penulis : Torey Hayden
Penerbit : Qanita
Harga : Sori, lupa he... (kayaknya sih diatas Rp 50 ribuan)

Victoria Lynn Hayden alias Torey Hayden adalah seorang guru anak-anak berkebutuhan khusus. Gak sekadar cacat fisik atau mental, anak-anak yang menjadi muridnya rata-rata punya kasus ekstrem. Pengalamannya menangani anak-anak 'unik' ini kemudian dia tuangkan ke dalam buku-buku yang jadi international best seller.

Dalam bukunya yang ini, Torey menulis :

"Mengapa kamu berada di sini?"
Saya tersenyum. "Kupikir karena aku menyukai hubungan yang sangat jujur. Selama ini, satu-satunya orang yang kuyakini sebagai orang jujur adalah anak-anak atau orang gila. Jadi, tempat ini tepat untukku."
Whitney mengangguk. "Ya, kukira itu pula yang kusukai ―bagaimana orang menunjukkan dengan jujur apa yang mereka rasakan. Jadi, setidak-tidaknya jika ada orang membencimu, kamu mengetahuinya." Dia tersenyum samar-samar. "Yang lucu adalah, anak-anak ini terkadang tampak tidak begitu gila di mataku dibanding dengan orang normal. Maksudku..." suaranya memelan.
Saya mengangguk. "Ya, aku tahu maksudmu."

(Sheila, Luka Hati Seorang Gadis Kecil hal 257)

Buku tentang Sheila ini ada dua bagian. Buku pertama berjudul “Sheila, Luka Hati Seorang Gadis Kecil” dan yang kedua “Sheila, Kenangan yang Hilang”. Oke, kita kulik keduanya yuk! Here we go...

Cerita berawal ketika Torey diminta mengajar di sebuah kelas yang punya julukan sayang "kelas sampah". Dia punya delapan murid : Tyler yang pernah dua kali mencoba bunuh diri, Guillermo yang buta, Peter yang agresif, Max dan Freddie yang autis, Sussanah yang skizofrenia, Sarah yang pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual, dan terakhir William yang menderita beragam fobia.

Suatu pagi, Torey dapet kabar bahwa dia bakal dapat tambahan seorang murid lagi. Namanya Sheila. Beberapa bulan sebelumnya, gadis kecil berusia enam tahun itu pernah masuk koran karena telah menculik seorang bocah, mengikatnya ke pohon di hutan, dan kemudian membakarnya.

Sheila dikeluarkan dari sekolah dan akan dimasukkan ke rumah sakit negara. Akan tetapi, belum ada unit anak-anak di situ. Jadilah, Sheila dikirim ke kelas Torey. Pertama masuk, dia gak mau ngomong, gak mau menulis, gak mau ngapa-ngapain. Yang ada dia malah bikin kekacauan. Ikan-ikan dalam akuarium dia congkelin matanya, trus ruangan salah seorang guru sukses dia bikin ancur.

Sheila juga gak pernah menangis, baik disaat sedih, marah, atau kesakitan. Dia agresif dan suka membangkang. Mungkin itu karena sang ibu meninggalkannya di jalanan saat dia berusia empat tahun. Mungkin juga karena ayahnya pemabuk dan gak mampu memberinya pengasuhan yang layak.

Tapi di balik sikapnya itu, Sheila sebenarnya adalah seorang gadis kecil yang cantik, dan jenius. IQ-nya di atas 180! Pada akhirnya, dengan caranya, Torey pun berhasil ‘menjinakkan’ Sheila.

Akhir tahun kemudian datang. Saatnya berpisah. Tujuh tahun berlalu. Tepat tiga bulan sebelum ulang tahun Sheila yang ke-14, Torey dan Sheila bertemu kembali. Bertubuh kurus, berambut keriting warna oranye menyala, dan bergaya ala punk. Torey kecewa karena Sheila remaja gak seperti gadis kecil berambut pirang lurus yang dulu pernah menjadi muridnya. Selain itu, Sheila juga banyak melupakan hal-hal yang dulu pernah mereka alami di sekolah.

Di sisi lain, Sheila juga kecewa karena perpisahan tujuh tahun lalu. Peristiwa itu ternyata sangat membekas. Lagi-lagi dia ditinggalkan. Ditelantarkan.

Sementara itu, Sheila yang sekarang sama bermasalahnya dengan Sheila kecil yang tega membakar seorang anak lelaki berusia tiga tahun sampai nyaris mati. Puncaknya, Sheila nekat berkelana untuk mencari ibunya. Dan tidak berhasil.

Saat Torey menjemputnya pulang, di dalam mobil Sheila berkata :

“Kamu tahu,” kata Sheila, “yang paling banyak kupikirkan adalah ucapanmu tentang mengikhlaskan semuanya. Menerima, memaafkan, kemudian mengikhlaskannya. Kupikir aku bisa menerima. Kupikir aku bahkan bisa memaafkan, tapi aku masih berpikir berkali-kali untuk mengikhlaskannya. Mencoba untuk memahami apa artinya ‘ikhlas’ dan yang bisa terpikir olehku hanyalah bahwa itu berarti menjalani hidup ke depan. Mulai lebih memikirkan masa depan daripada masa lalu.”

(Sheila, Kenangan yang Hilang hal 432)

Perjalanan pulang dari California menembus kegelapan bersalju terbukti bukan sekadar berdimensi fisik semata. Sheila tampaknya berhasil keluar dari kegelapan lain. Dia menjadi lebih santai dan ceria. Dan selulusnya dari sekolah yang tinggal hitungan hari, Sheila sudah memutuskan jalan hidupnya : mempersembahkan kecerdasannya untuk menyajikan hamburger di McDonald’s. Bukannya masuk universitas dan belajar sastra yang sangat disukainya.

Beda sama buku-buku cerita pada umumnya, cerita Sheila emang gak happy ending. Tapi itulah hidup, bukan dongeng yang selalu berakhir bahagia.

Terakhir, seru juga kalo kalian mengunjungi situs http://www.torey-hayden.com/indonesian. Ada informasi tentang biografi Torey Hayden, buku-buku yang pernah diterbitkannya, forum diskusi, dan yang paling menarik adalah kabar terbaru soal para tokoh yang ada dalam bukunya.
Tautan

Komentar