Apa yang terbersit di benak ketika mendengar kata “Dayak”? Primitif. Eksotis. Serem. Hehe…
Seenggaknya itu anggapan saya selama ini. Ketika gambaran
tentang mereka cuma saya dapat dari bacaan atau cerita yang terbawa angin
#halah.
Setelah punya kesempatan untuk melihat kehidupan mereka
lebih dekat dan berinteraksi langsung, di satu sisi anggapan itu ada benernya.
Tapi banyak salahnya juga. Dan lebih banyak lagi hal yang baru saya ketahui. Hal-hal
yang bikin saya terbelalak, terhenyak, terkagum-kagum, meringis, miris, sampai
tersenyum kecut.
Sebelumnya yang saya bayangkan adalah bahwa kehidupan orang
Dayak di Kalimantan Selatan itu masih tradisional. Tinggalnya di hutan rimba. Di
rumah-rumah panjang yang dihuni beberapa keluarga.
Pakaian pun seadanya. Berbicara
dalam bahasa mereka. Kayak suku-suku yang ditampilin di Ethnic Runaway Trans TV
gitu. Intinya tak tersentuh kemajuan zaman dan modernitas.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di kampung dayak, itu di
Desa Bangkalaan Dayak, Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten Kotabaru. Dan
keadaan kampung itu jauh sejauh-jauhnya dari bayangan saya, hahaha…
Letaknya gak di dalam hutan. Kondisinya juga selayak dan
senormalnya kampung pada umumnya. Pun dengan kehidupan masyarakatnya. Yang
bikin kampung itu seolah terputus dari dunia luar hanyalah gak ada sinyal
telepon di sana.
Di Desa Bangkalaan Dayak, terdapat sebuah tempat sakral.
Yang gak sembarang orang bisa masuk. Dan kalo kita mau masuk, izin dulu sama ketua
adatnya, kalo gak mau dibacok, hehe… Pernah denger Goa Temuluang?
Tadinya saya cuma tau goa itu salah satu objek wisata yang
ada di Kotabaru. Ternyata lebih dari itu, Goa Temuluang menyimpan sejarah dan
banyak kisah.
Yang saya bisa ingat (correct me if I’m wrong), konon,
Goa Temuluang ditemukan oleh seorang raja bergelar Raja Agung yang memimpin
pecahan Kerajaan Banjar di daerah itu. Goa itu merupakan habitat burung walet
dan banyak sarang di dalamnya.
Makam Raja Agung sendiri ada di Desa Bangkalaan Melayu,
masih di Kecamatan Kelumpang Hulu. Keturunannya masih bisa dijumpai di desa
itu. Dulu ceritanya Bangkalaan Melayu dan Bangkalaan Dayak jadi satu. Tapi
setelah rajanya memeluk Islam, wilayah itu terpecah.
Goa Temuluang juga
diserahkan kepada masyarakat Bangkalaan Dayak yang masih tetap pada agamanya,
karena pengelolaan goa itu sebelumnya kental dengan ritual adat Dayak,
sepertinya adanya aruh. Belakangan, katanya juga ada putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan Goa Temuluang adalah milik masyarakat adat
Bangkalaan Dayak.
Tapi sampai sekarang, kalo di goa ada aruh (biasanya ketika
akan panen sarang walet), keturunan Raja Agung yang tinggal di Desa Bangkalaan
Melayu ikut dilibatkan sebagai bentuk penghormatan. Sayaaaaaaang banget saya
gak sempat ngeliat aruhnya, telat dua bulan saya datang.
Seiring waktu, harta karun di dalam Goa Temuluang (sarang
walet, Red) mulai jadi sumber konflik. Bukan antara warga Bangkalaan Melayu dan
Bangkalaan Dayak. Orang Bangkalaan Melayu sendiri memilih hidup damai tanpa
ikut menikmati hasil dari Goa Temuluang, meski penemunya adalah moyang mereka.
Tinggal warga Bangkalaan Dayak yang tak pernah bisa hidup
tenang, karena sarang walet di Goa Temuluang jadi rebutan banyak pihak luar.
Sejak zaman Belanda, hingga sekarang. Konon lagi, itu karena sarang walet di
Goa Temuluang kalo dirupiahkan nilainya miliaran. Uwow!
Tiap mau panen, pasti deh kampung itu bergejolak. Bahkan
sampai berdarah-darah dan memakan nyawa. Yang kedua saya ke sana beberapa hari
setelah pemilu legislatif, kampung lebih rame dari pertama kali saya datang.
Banyak orang berjaga-jaga. Sampai polisi juga turun, lengkap dengan senjata. Parahnya,
yang menyulut api konflik kali ini oknum warga Bangkalaan Dayak sendiri. *tepok
jidat*
Terlepas dari belenggu konflik yang gak kunjung padam
(yailah bahasanya), saya ngerasa beruntung sempat menjelajah isi perut Goa
Temuluang (nuhun teman-teman yang ngajak ke sana, what a great adventure!).
Di dalamnya gelap banget, gak bisa liat apa-apa. Jalannya licin,
naik turun, banyak lubang, kadang mesti merayap merapat di dindingnya.
Saya
lupa persisnya berapa kilometer panjang goa ini. Pokoknya setelah berjalan
jauuuuuuuuuh… sampailah di sebuah sungai. Ya, ada sungai di dalam goa ini!
Di langit-langit goa di atas sungai itulah, sarang-sarang
waletnya nempel. Jadi kalo panen harus naik ketinting atau kelotok. Kami pun
menyusuri sungai itu dengan menumpang ketinting. Aih, kereeeeeeeen…!!! (maap
norak 😁).
Sampai di mulut goa, kami semua lalu turun dari ketinting
dan memanjat sebuah tangga kayu. Di luar goa, terdapat sebuah rumah, atau
pondokan sih lebih tepatnya. Pondokan itu semacam pos jaga.
Nah, ketinting yang
kami tumpangi itu membawa logistik untuk orang-orang yang ada dipondok.
Pondok yang sama juga ada di depan mulut goa yang jadi pintu
kami masuk. Kalo gak salah ingat, ada tiga jalan masuk ke Goa Temuluang. Selain
di luar, penjagaan juga dilakukan di dalam goa.
Jadi, jangan kaget kalo pas
naik ketinting, sinar dari senter yang kamu sorot secara random sesekali akan memunculkan
sosok-sosok manusia di ceruk-ceruk goa nan gulita. Gak takut dimakan hantu apa
ya?
Di pondok kami sempat beristirahat. Bahkan, dikasih makan
segala. Walau menunya hanya nasi dan mie rebus, tapi nikmaaaaaaaat bener deh. Seketika
hilang semua stigma tentang orang Dayak yang terlanjur melekat di benak.
Ketua Adat Desa Bangkalaan Dayak, Bapak Tiang Han |
nikmatnya kesederhanaan |
belajar motret |
Ketua Adat Desa Bangkalaan Dayak Bapak Tiang Han yang nemenin kami menjelajah
Goa Temuluang cerita, sekarang walet di goa itu terancam kelestariannya.
Katanya sih, semenjak dikelola pemerintah yang bekerja sama dengan pihak
ketiga, panen jadi gak teratur lagi. Idealnya panen pertiga bulan sekali. Tapi
kadang lebih cepat, yang berakibat anak-anak burung yang masih kecil yang ada
di sarang ikut terambil.
Waktu saya ngobrol soal ini dengan orang pemerintahan,
reaksinya begini, “Ah, memang kalau yang mengelola masyarakat, mereka juga
bijak? Saya lebih tahu kok cerita di situ,” kurang lebih kalimatnya gitu.
Goa Temuluang belum dikelola sebagai objek wisata resmi.
Rencana pemerintah sih ada, katanya. Gak tau deh konsepnya kayak apa dan
realisasinya kapan. Masyarakat sendiri kayaknya menerima ide itu.
Seorang teman
berpendapat, lebih baik begitu, dengan argumen roda ekonomi masyarakat akan
berputar. Daripada kayak sekarang, gak jadi apa-apa, yang ada ribut melulu.
Mungkin ada benarnya. Tapi membayangkan akan banyak orang
yang datang ke Goa Temuluang, apa yang mungkin akan terjadi?
Si teman lagi-lagi berargumen, “Walet kan bukan binatang
langka juga.”
Itu benar. Tapi dari yang pernah saya dengar, walet gak
hidup dimana aja, pilih-pilih juga. Dan Goa Temuluang udah memberikan
penghidupan bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Bahkan, (mungkin) udah
selama ratusan tahun.
Jadi, selayaknya dijaga supaya dia bisa terus menghidupi
sampai nanti. Bukannya dibiarkan dijarah oleh orang-orang rakus tanpa hati.
Mohon pencerahannya, pak... Bagaimana caranya masuk ke goa, apa ada guide dan nomor hpnya ya? Kira2 anak umur 9-10 th mampu jalan kaki /masuk ke goa itu? Aman? Makasih atas infonya, pak.. sangat menarik.. saya tertarik sungai dlm guanya..
BalasHapusmaap saya bukan "pak" tapi "mbak" hee.. pertama izin dulu sama ketua adatnya mbak, beliau tinggal di desa itu juga.. masalahnya di sana gak ada sinyal telepon.. mungkin untuk anak kecil saya pikir agak ekstrem ya.. dan perlu diketahui juga bahwa goa ini bukan objek wisata yg mainstream jd belum ada kayak guide dan fasilitas wisata lainnya.. kemarin saya masuk goa itu dalam rangka liputan dan bisa menyusuri sungainya karena kebetulan pas jadwal ketintingnya mengantar logistik.. begitu mbak
Hapus