Ini bukan mo pencitraan. Bukan juga nyombong, sok suci, atau merasa paling bener. Cuma mo menggalau sekali-sekali.
Sungguh.
Sungguh.
Jadi saya [baca : wartawan] itu gampang banget dapet duit. Bahkan, kadang ga diminta, tapi orang yang maksa-maksa mau ngasih. Hehehe...
Saya ga ngerti ya gimana sejarahnya jadi tiap wawancara selalu diselipin amplop sama narasumbernya. Apalagi kalo beritanya miring-miring, beeeeeeuh, hahaha... Tiap diundang ke acara, ada amplopnya. Minta liputin kegiatan, ditanyanya : berapa sih bujetnya ngundang wartawan?
Seolah-olah wartawan itu orientasinya selalu uang, uang, uang, uang, uang, dan uang. Dikepalanya cuma ada uang, uang, uang, uang, uang, uang, dan uang. Dijidatnya kayak ada nempel uang, uang, uang, uang, uang, uang, uang, dan uang. Kalo ngeliat wartawan tuh di mata narasumber kayak liat tukang kredit atau tukang porot jadi selalu buru-buru nyiapin uang.
Uang, uang, uang, uang ...
Siapa yang ga suka uang? Siapa yang ga mau uang? Semua orang perlu uang. Saya juga perlu uang. Tapi ga segitunya juga.
Saya ga pungkiri, ada yang begitu, mungkin banyak. Bikin berita dengan maksud mengambil keuntungan dari berita itu. Atau datang ke acara karena tau ada uangnya. Dan yang begitu ga cuma wartawan yang medianya ga jelas, tapi juga yang medianya resmi, bahkan bonafid. Sampe di antara temen-temen tuh ada istilah "dilempang" [bahasa Banjar, dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih ditampar]. Kalo sampe biru artinya lumayan, kalo sampe merah berarti wow banget, hihihihi...
Di beberapa media, kalo koran di bawah boks redaksi, kalo di TV di teks berjalan, itu kita bisa nemuin semacam warning : wartawan media ini tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun. Sebelum jadi wartawan, saya kagum banget dengan wartawan. Salah satunya karena kalimat itu, yang mencerminkan kalo wartawan adalah orang-orang yang punya idealisme untuk membela kebenaran, bukan membela yang bayar. Di mata saya, mereka itu hebat.
Setelah jadi wartawan, saya terkaget-kaget. Ga sehebat itu ternyata. Memberi dan menerima imbalan itu ternyata praktik yang biasa, bahkan sepertinya itu "benar". Saya malu, kayaknya imej wartawan itu udah lekat banget sama uang. Saya ga men-generalisir, tapi teman-teman yang saya kenal yang mau menolak praktik itu memang cuma segelintir.
Kadang untuk menolak ini ga mudah. Sumpah. Sudah ditolak-tolak, dipaksa-paksa. Kalo orang yang ga paham, denger dari luar ruangan, bisa disangka kaya mo ada perkosaan : "Ga usah Pa" "Ambil aja" "Jangan Pa" "Ayo nah". Gkgkgkgkgk... Aduh, itu risih banget. Sering juga dikejar-kejar sampe keluar ruangan si narasumber. Ini lebih risih lagi. Katanya buat uang transport, silaturahmi, apalah. Tapi ga usah naif lah ya. Masuk WC aja ga gratis. Apalagi yang ngasih uang ini orang yang jelas punya kepentingan dengan kita, ga mungkin ga ada maksud. *nyambung ga sih nih analoginya?*
Kalo saya udah kesel, biasanya saya akan ngomong gini : "Maap Pa, gaji saya dari kantor sudah cukup". Beberapa narasumber bisa paham, tapi yang lain tetep ndableg.
Soal gaji cukup atau ga cukup, menurut saya relatif ya. Kalo ukurannya UMP, barangkali ada beberapa perusahaan media yang menggaji wartawannya di bawah. Entahlah ya, saya ga tau persis. Kalo dirata-rata gaji wartawan di sini tuh berapa, saya juga ga tau. Tapi apapun itu bukan alasan.
Bagi saya, kalo wartawan orientasinya uang, itu udah ga bener kerjanya. Itu merusak idealisme, profesionalisme, dan integritas. Itu ga ada bedanya dengan jual diri. Iyalah, setelah terima uang, mesti ngikutin maunya si narasumber. "Beritanya jangan keras-keras ya" atau "Ga usah diterbitin ya".
Yang saya juga ga paham, beberapa orang berpikir bahwa uang bisa menyelesaikan segalanya. Dikit-dikit duit. Diberitain miring duit. Ada wartawan yang bisa dibungkam dengan duit, tapi TIDAK SEMUA. Yang segelintir itu cuma kena getahnya. Percayalah, selalu ada pengecualian di dunia ini. Masih ada wartawan yang punya hati nurani.
Sekian penggalauan malem ini.
*puter Adera - Lebih Indah*
Komentar
Posting Komentar