Tujuan kedua adalah Ke'te Kesu. Dari Rante Karassik, saya nanya sama
bapak-bapak kemana arah Ke'te Kesu. Katanya ada sih pete-pete lewat dari
situ, tapi lama nunggunya. Saya disaranin jalan kaki ke arah kiri dari gang, sampai simpang tiga
yang ada patung sapi dan nunggu pete-pete atau naik ojek dari belokan yang
ke kiri. Naik ojek Rp 5 ribu, pete-pete Rp 3 ribu, dan sebagai backpacker
pemula saya konsisten dengan pilihan yang paling murah *bilang aja
ngirit*.
sudut jalan menuju Ke'te Kesu |
latar gunung di kejauhan
beberapa rumah penduduk ada di ketinggian
Pete-pete akan membawa kita sampe di Ke'te Kesu. Bayar tiket masuk dulu Rp 10 ribu. Di sini lebih rame, banyak wisatawan lokal dan asing juga.
semakin banyak tanduk menunjukan si empunya bangunan ini pernah mengadakan acara besar dengan banyak hewan kurban dengan kata lain tajir |
sisa bangunan untuk upacara kematian tahun lalu di Ke'te Kesu sesuai adatnya setelah acara selesai bangunan dibiarkan sampai hancur sendiri |
narsis lagi |
Selain rumah tradisional, di Ke'te Kesu juga terdapat komplek pemakaman yang berada di belakang barisan tongkonan. Makam-makamnya gak cuma di tanah, tapi juga ada yang nangkring di atas.
cuma bangsawan yang mayatnya dibikinkan patung (tau-tau) kayak gini |
tengkorak dan tulang belulang ini pemandangan biasa kalo udah gak kuat lambaikan tangan ke kamera |
Di ujung jalan paling atas ada sebuah gua. Isinya makam, mayat, dan tulang belulang juga. Saya ngerasa cukup masuk sampai di bagian depannya aja. Fiuh.
di depan gua, banyak anak-anak siap jadi pemandu dan nyewain senter |
ane juga bisa kegerahan keleees |
Selesai menyusuri setiap jengkal Ke'te Kesu, saya gak langsung kabur.
Batere kamera drop, jadi saya ngaso bentar supaya bisa lanjut eksis di
tujuan berikutnya. Pas lagi cakep-cakepnya bengong, mengamati tingkah polah wisatawan yang makin
siang makin membeludak, eh saya nemu temen baru lagi.
Namanya Bang Junet. Ayahnya orang Banjarmasin, ibunya orang Toraja, tapi dianya tinggal di Kalimantan Timur. Sekarang pulang ke Toraja untuk menghadiri prosesi kematian neneknya yang berdarah biru.
Artinya bakal ada pesta besar. Konon biayanya sampai Rp 2 miliar *koprol*. Dengan baiknya dia menawari saya menghadiri momen sakral nan langka itu dan menyediakan penginapan di rumah keluarganya di daerah Bittuang.
Tiba-tiba saya menyesal kenapa gak minta penerbangan saya dimajukan. Tapi kalo dimajukan, dipikir-pikir lagi saya mungkin gak bakal ketemu Bang Junet. Ah, galau tingkat regional Asia.
Sumpah pengen banget-banget mengiyakan tawarannya. Tapi dengan berbagai pertimbangan saya memutuskan untuk tetap dengan itinerary semula dan berdoa semoga masih ada kesempatan lain saya bisa kembali ke Toraja dan menyaksikan prosesi itu dengan mata kepala sendiri.
Namanya Bang Junet. Ayahnya orang Banjarmasin, ibunya orang Toraja, tapi dianya tinggal di Kalimantan Timur. Sekarang pulang ke Toraja untuk menghadiri prosesi kematian neneknya yang berdarah biru.
Artinya bakal ada pesta besar. Konon biayanya sampai Rp 2 miliar *koprol*. Dengan baiknya dia menawari saya menghadiri momen sakral nan langka itu dan menyediakan penginapan di rumah keluarganya di daerah Bittuang.
Tiba-tiba saya menyesal kenapa gak minta penerbangan saya dimajukan. Tapi kalo dimajukan, dipikir-pikir lagi saya mungkin gak bakal ketemu Bang Junet. Ah, galau tingkat regional Asia.
Sumpah pengen banget-banget mengiyakan tawarannya. Tapi dengan berbagai pertimbangan saya memutuskan untuk tetap dengan itinerary semula dan berdoa semoga masih ada kesempatan lain saya bisa kembali ke Toraja dan menyaksikan prosesi itu dengan mata kepala sendiri.
Meski gak ikut ke Bittuang, Bang Junet akhirnya jadi partner perjalanan saya selama seharian di Tantor. Dari dia juga saya banyak dapat cerita. Misal, soal patung kerbau di pertigaan ke Ke'te Kesu.
Orang sini menyebutnya Tedong Bungo. Tedong artinya kerbau. Kerbau yang kulitnya bermotif hitam putih kayak sapi perah ini semacam hewan sakral. Sekaligus simbol status sosial karena harganya bisa empat kali harga mobil Avanza.
Kalo ada yang mau nggelar upacara adat, tedong bungo ini jadi buruan dan harganya bisa jadi lebih gak tau diri lagi. "Padahal kalo dibawa keluar sih gak ada harganya, sama aja kayak kerbau biasa," kata Bang Junet.
Menganggung-agungkan status sosial kayaknya menjadi kultur orang Toraja. Derajat seseorang ditampakkan melalui simbol-simbol, kayak aksesori tanduk kerbau yang dipajang di rumah tongkonan, tedong bungo, terus upacara-upacara adat besar-besaran dengan dana fantastis.
Orang sini menyebutnya Tedong Bungo. Tedong artinya kerbau. Kerbau yang kulitnya bermotif hitam putih kayak sapi perah ini semacam hewan sakral. Sekaligus simbol status sosial karena harganya bisa empat kali harga mobil Avanza.
Kalo ada yang mau nggelar upacara adat, tedong bungo ini jadi buruan dan harganya bisa jadi lebih gak tau diri lagi. "Padahal kalo dibawa keluar sih gak ada harganya, sama aja kayak kerbau biasa," kata Bang Junet.
Menganggung-agungkan status sosial kayaknya menjadi kultur orang Toraja. Derajat seseorang ditampakkan melalui simbol-simbol, kayak aksesori tanduk kerbau yang dipajang di rumah tongkonan, tedong bungo, terus upacara-upacara adat besar-besaran dengan dana fantastis.
tedong bungo |
Komentar
Posting Komentar