Jadi, pekan lalu
seorang temen ngirim SMS. Dia minta saya ngisi training jurnalistik yang
diadakan sebuah organisasi mahasiswa. Biasanya dia yang ngisi, kebetulan si
temen ini dulu wartawan di media yang sama dengan saya, dia juga aktivis di
organisasi itu. Tapi karena dia mau ke luar daerah, saya diminta gantiin
dia.
What?! Ga salah?! Wartawan
kemaren sore disuruh men-training? Mau ngakak saya.
Apalagi saya merasa ga berbakat jadi guru dan ngajarin
orang. Saya punya kesulitan untuk mengungkapkan dengan baik apa yang saya
pikirkan secara verbal, lebih enak nulis. Tapi seperti biasa saya paling susah
bilang ‘nggak’dan menolak permintaan tolong orang lain. Dengan sotoynya, saya
pun mengiyakan.
Wow, saya ga pernah jadi trainer sebelumnya, baik training
apapun apalagi training jurnalistik. Walaupun yang bakal dihadapi ini cuma para
mahasiswa, ibaratnya kalo lomba levelnya tingkat kelurahan (plis jangan baca
dengan nada merendahkan), tapi tetep aja saya gelisah.
Apa materi yang mesti saya sampein? Gimana cara nyampeinnya
supaya peserta ga ngantuk? Gimana kalo ada peserta nanya dan saya ga bisa
jawab?
“Yang dasar-dasar aja, supaya peserta tau fungsi jurnalistik
itu bukan sekadar nulis berita, tapi membela kepentingan orang banyak,” si
temen ngingetin lagi bahwa ini cuma training dasar jurnalistik, bukan training
jurnalisme investigasi.
Oke. Oke.
Gara-gara permintaan tolong si temen ini, membuat saya jadi
membuka-buka lagi koleksi buku jurnalistik saya. Saya juga dengan serius mencari-cari
makalah training dasar jurnalistik untuk referensi. Tapi pada akhirnya, slide
makalah yang saya bikin simpel banget.
Ga ada penjelasan, hanya poin-poin.
Supaya keliatan penuh, saya bikin hurufnya gede-gede, hehe... Selebihnya saya bakal ngalor ngidul aja deh. Males ngetik panjang-panjang. Lagian kalo para peserta itu bisa baca
sendiri apa yang mau saya sampein di slide yang panjang lebar, buat apa lagi
saya berdiri di depan mereka dan ngomong berbuih-buih kan?
Hari H pun tiba. Setelah sempat berpikir mau meng-SMS si
temen dan menarik kembali persetujuan saya buat ngisi training, saya pun
berangkat dari rumah ke tempat pelaksanaan kegiatan yang jauhnya sekitar 30
menit perjalanan arah luar kota.
Waktu sampe di lokasi, saya sempet bengong sebentar. Saya
ngambil hp dan meng-SMS si temen, “Ini sih training seriuuuuuuuus… @_____@”.
Dan dia cuma ngakak.
Dalam bayangan saya, training yang dia maksud itu kegiatan
rutin yang ga formal. Nyaris aja saya dateng berkaos ria. Ternyata, training jurnalistik itu merupakan agenda tahunan
organisasi tersebut.
Saya merhatiin trainer yang tampil sebelum saya. Makalahnya yang membahas tentang hubungan masyarakat aka humas sepintas terkesan padat berbobot. Dia juga banyak mengutip kisah-kisah nabi, mengingat organisasi mahasiswa yang mengundang ini memang organisasi mahasiswa keislaman gitu deh. Trus, si trainer berdiri di depan tampak meyakinkankan sambil menenteng tablet.
Saya merhatiin trainer yang tampil sebelum saya. Makalahnya yang membahas tentang hubungan masyarakat aka humas sepintas terkesan padat berbobot. Dia juga banyak mengutip kisah-kisah nabi, mengingat organisasi mahasiswa yang mengundang ini memang organisasi mahasiswa keislaman gitu deh. Trus, si trainer berdiri di depan tampak meyakinkankan sambil menenteng tablet.
Suer, seketika saya merasa terintimidasi. Mendadak tangan saya terasa dingin dan badan agak meriang. *lebay*
Saya sih ga berharap muluk-muluk,
peserta ga ngantuk aja pas dengerin saya ngoceh udah syukur. Meski gugup karena baru pengalaman pertama,
untungnya sih over all lancar, karena berbagi dengan orang lain itu selalu menjadi aktivitas yang menyenangkan,
meski hanya berbagi ilmu saya yang masih cetek ini.
Saya cukup bahagia liat sebagian wajah serius menyimak,
agak terharu ketika mata saya menangkap beberapa peserta sesekali menunduk untuk mencatat sesuatu di buku mereka, dan pengen sujud syukur waktu sejumlah telunjuk mengacung dengan antusias saat di tengah pemaparan saya memberi jeda untuk peserta bertanya. Dan saya
memilih mengabaikan sebagian lagi yang keliatan memerhatikan dengan males-malesan.
Kalo saya punya waktu tujuh hari tujuh malem, saya bakal dengan senang hati sharing dengan teman-teman mahasiswa ini. Tapi apa daya saya cuma dikasih kesempatan kurang lebih sejam untuk bercuap-cuap. Jadi, saya hanya mengutip pengetahuan-pengetahuan dasar yang menurut saya penting untuk dicekokan kepada para peserta yang notabene masih idealis ini, ketimbang menjabarkan hal-hal teknis yang perlu dibikinkan workshop tersendiri.
Lebih khusus terkait prinsip-prinsip dalam dunia jurnalistik. Prinsip-prinsip yang kayaknya udah banyak dilupakan, atau sengaja diabaikan dalam praktik jurnalistik sekarang. Dengan harapan kalo suatu hari nanti peserta training ini jadi jurnalis beneran, mereka bisa jadi jurnalis yang ‘bener’.
Hei, ini cuma training dasar jurnalistik buat para
mahasiswa, apa harapan itu ga ketinggian? Well, mungkin nanti banyak yang masuk
kuping kanan keluar kuping kiri, tapi mudah-mudahan sempat nempel di benak
mereka.
Well, selalu ada yang
pertama untuk segala sesuatu. Menghadapi apa yang belum pernah kita alami
sebelumnya kadang terasa menakutkan. Tapi ga selalu semuanya seburuk yang
dibayangkan. Seringnya justru memberi pengalaman baru yang seru : )
Komentar
Posting Komentar