KENAPA SAYA JADI WARTAWAN?

Itu salah satu pertanyaan yang diajuin peserta training jurnalistik yang saya isi tempo hari.

Dulu saya juga pernah ditanya begitu sama seseorang. Hari pertama ospek, saya duduk sebelahan sama ibu-ibu, sesama mahasiswa baru, lagi mendengarkan pengarahan. Si ibu itu guru kalo ga salah. Biasa, zaman sekarang kan banyak guru-guru yang pada kuliah.

"Kenapa mau jadi wartawan? Wartawan itu kan sebelah kakinya di neraka."

BUJUG.

"Iya, kalo bikin beritanya ga berimbang," sambung si ibu.

Pikiran saya langsung melayang-layang. Saya memikirkan orang-orang yang berebut jadi PNS, dengan alasan jadi PNS itu enak, hidupnya terjamin, ga bakal di-PHK, dapet pensiun pula. Ga pernah saya denger motivasi orang jadi PNS untuk mengabdi ke masyarakat, misalnya. Trus para pejabat dan wakil rakyat yang terhormat, yang waktu pemilihan berjanji akan melayani semua kebutuhan rakyat, tapi begitu terpilih lupa sama janjinya sendiri dan malah jadi garong. Trus polisi, jaksa, hakim, yang sejatinya diturunkan ke muka bumi sebagai penegak keadilan, tapi malah memperjual belikannya. Trus trus trus truuuuuuuussss...

Capek ah.

Jadi, apa bedanya? Intinya, semua profesi itu sama aja. Balik ke orangnya. Kalo si wartawan teguh sama kode etiknya, independen dan ga beritikad buruk, dia akan jadi wartawan yang profesional. Tapi kalo ga, malah menjadikan profesinya untuk mendapat keuntungan pribadi dengan cara-cara yang menyalahi kode etik, ya itu yang sebelah kakinya di neraka kayak dibilang si ibu.

"Yah, saya sih pengen aja berbagi dengan orang banyak. Ga bisa dengan harta, seenggaknya bisa berbagi ilmu dan inspirasi lewat tulisan," kata saya sambil senyum campur manyun.

Tapi dipikir-pikir mungkin Tuhan memang sengaja menakdirkan saya bertemu si ibu. Kata-kata si ibu itu selalu saya ingat dan jadi semacam alarm supaya saya terus berpegang pada kode etik saat melakoni profesi saya.

Well, kalo ditanya motivasi jadi wartawan, ya itu motivasi saya dari lubuk hati paling dasar. Tapi kalo ditanya kenapa saya bisa jadi wartawan, semua ga direncanakan. Wartawan itu juga bukan cita-cita waktu kecil. Ilham itu ga sengaja dateng pas nonton sebuah drama Jepang yang tayang tiap sore di Indosiar.

Gara-gara nonton drama itu, saya jadi berpikir kayaknya jadi wartawan itu keren banget. Ga kalah keren sama pahlawan bertopeng, sama-sama pembela kebenaran.

Selanjutnya jalan seperti terbentang begitu aja. Ada sih kerikil dan duri-durinya, tapi toh kayak memang udah jalannya gitu, pada akhirnya nyampe aja dengan perjuangan dan doa.

Enak ga sih jadi wartawan?

Seorang temen pernah ngomong gini ke saya, "Enak ya jadi wartawan. Santai," katanya sotoy.

Paling benci deh sama orang yang suka ngomentarin sesuatu tapi dia ga bener-bener tau persis tentang sesuatu itu.

Saya mengernyit. Setelah lama dipikir-pikir, iya juga sih. Mau berangkat kerja jam berapa aja terserah, asal ada berita yang disetor dan sesuai target. Mau di rumah aja pun juga terserah, asal ga ketahuan <--- ngomong berarti pernah.

Tapi kadang-kadang ada juga saatnya ketika orang-orang udah pada pulang kerja, atau malah udah berlayar ke peraduan menuju pulau mimpi, kita masih di lapangan. Atau sebaliknya, belum juga mandi, apalagi sarapan, tiba-tiba ada kejadian yang harus dikejar.

1x24 jam, 7 hari seminggu, liburnya cuma pas hari raya dan hari kiamat doang.

Ga cuma ga punya jam kerja yang pasti, apa yang mungkin kamu hadapi hari ini, besok, dan seterusnya juga ga ada yang pasti. Bisa damai-damai aja, bisa penuh huru-hara. Bingung kalo sepi berita, bingung juga kalo kebanyakan hal untuk diberitakan. Ga kayak orang kantoran yang punya jobdesc yang jelas. 

Menurut lo?

Tapi apapun itu, kalo dikerjakan dengan passion, karena suka, bikin happy, ga mikir enak nggaknya. Maka, bersyukurlah kalo punya kerjaan yang sesuai passion-mu : )

Suatu hari, lagi-lagi seseorang bertanya, "Buat lo, wartawan itu pekerjaan atau profesi?".

Saya terdiam sebentar, lalu meluncurlah kata-kata ini dari mulut saya, "Wartawan itu... panggilan hidup".