Kegiatan kunjungan kerja atau kunker anggota dewan sering dituding cuma sebagai kedok plesiran yang membuang-buang anggaran belaka. Bener ga sih?
Well, saya mau share nih apa yang saya tau dari hasil pandangan mata dan sedikit data. Saya udah pernah kultwit juga sebenernya. Tapi siapa tau ada viewer dimari yang ga terjamah di twitterland, maka saya copas lagi di blogland ini, hehe... Here we gooooo...
Kunker anggota dewan itu macem-macem bentuknya. Ada studi banding rancangan peraturan daerah atau raperda, studi banding alat kelengkapan (komisi, badan-badan), dan peningkatan kapasitas (workshop). Meski bahasanya beda-beda, intinya kan tetap satu : ke luar daerah.
Saya ambil contoh di lingkungan DPRD Kota Banjarmasin. Dalam setahun rata-rata ada 30-40 raperda (banyak juga hal menarik dalam seluk-beluk pembuatan perda, kapan-kapan kita bahas tersendiri). Maka sebanyak itu juga frekuensi para wakil rakyat ini studi banding dalam rangka belajar ke daerah lain yang dinilai menjalankan dengan baik peraturan daerah yang sama dengan yang mau mereka buat (masa sih? #nyinyir). Belum lagi studi banding alat kelengkapan dan workshop.
Ini contoh realisasi anggaran 'jalan-jalan' anggota DPRD Kota Banjarmasin yangdikutil dikutip dari Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Pemerintah Kota Banjarmasin tahun 2012 (sahih tho?) :
studi banding raperda = Rp 4,6 M
Well, saya mau share nih apa yang saya tau dari hasil pandangan mata dan sedikit data. Saya udah pernah kultwit juga sebenernya. Tapi siapa tau ada viewer dimari yang ga terjamah di twitterland, maka saya copas lagi di blogland ini, hehe... Here we gooooo...
Kunker anggota dewan itu macem-macem bentuknya. Ada studi banding rancangan peraturan daerah atau raperda, studi banding alat kelengkapan (komisi, badan-badan), dan peningkatan kapasitas (workshop). Meski bahasanya beda-beda, intinya kan tetap satu : ke luar daerah.
Saya ambil contoh di lingkungan DPRD Kota Banjarmasin. Dalam setahun rata-rata ada 30-40 raperda (banyak juga hal menarik dalam seluk-beluk pembuatan perda, kapan-kapan kita bahas tersendiri). Maka sebanyak itu juga frekuensi para wakil rakyat ini studi banding dalam rangka belajar ke daerah lain yang dinilai menjalankan dengan baik peraturan daerah yang sama dengan yang mau mereka buat (masa sih? #nyinyir). Belum lagi studi banding alat kelengkapan dan workshop.
Ini contoh realisasi anggaran 'jalan-jalan' anggota DPRD Kota Banjarmasin yang
studi banding raperda = Rp 4,6 M
kunker alat kelengkapan = Rp 4,48 M
peningkatan kapasitas = Rp 5,9 M
total = Rp 15 M
Saya lupa nyatet berapa anggaran sekretariat DPRD Kota Banjarmasin tahun 2012, tapi kalo anggaran di awal tahun 2013 aja Rp 21 M, dan tahun sebelumnya kurang lebih segitu juga, berarti lebih dari setengahnya habis buat kunker-mengkunker ini doang.
SARAP. Maap emosih.
Sistem pembiayaan perjalanan dinas luar daerah (bahasa birokratnya kunker) dari tahun ke tahun terus berubah. Demi efisiensi #katanya. Faktanya? Simak teruuuus...
Secara umum ada dua sistem pembiayaan. Tahun 2010 ke bawah, sistem yang dipake adalah LUMSUM (entah nulisnya bener atau ga). Sistem ini memakai standar biaya tertentu dan ga perlu pertanggungjawaban dengan kuitansi. Misal, penginapan sehari dipatok Rp 250 ribu. Tarif hotelnya Rp 500 ribu atau Rp 100 ribu, tetap dibayar Rp 250 ribu. Kalau ada sisa, masuk kantong.
Dengan sistem ini, biaya kunker untuk satu orang anggota dewan untuk satu kali perjalanan berkisar Rp 7-10 juta, tergantung daerah tujuan yang dibagi 3 kategori: Indonesia timur, tengah, & barat. Kecenderungannya dipilihlah daerah tujuan yang jauh, dengan pertimbangan lebih karena semakin jauh jaraknya, makin besar juga biayanya. Terus pilih hotel atau tiket pesawat yg murah, supaya banyak sisa uang saku yang bisa dihemat. Pinter banget kan penerapan prinsip ekonominya? Ini wakil rakyat apa pedagang baju di Pasar Sudimampir (pasar grosir terbesar di Banjarmasin) yak?
Suatu kali pernah ada kejadian heboh. Ketua DPRD (sebelum dilengserkan partainya di tengah jalan) yang memang dikenal di kalangan wartawan setempat suka ngawur, berbagi tips menguras anggaran saat menjamu tamu dari rombongan DPRD dari daerah mana gitu. Serius, dia ngomong begitu. Katanya, tiap kunker pilih aja daerah yang jauh, ke Papua kalo perlu. Entah lagi mabok atau ga sadar ada beberapa wartawan nguping pertemuan itu di kursi belakang. Parah.
Mulai tahun 2011, sistem perjalanan dinas berubah dari lumsum jadi AT COST secara bertahap sesuai arahan pemerintah pusat. Katanya sih sistem ini akan menghemat biaya kunker, karena biaya perjalanan dibayar sesuai pengeluaran yang sebenarnya. Mungkin agak ga rela kali ya dengan sistem ini, jadi pertama-tama yang di-at cost-kan hanya tiket pesawat saja.
Tapi apakah bener jadi lebih hemat? Jeng jeng... Belum ngantuk kan baca tulisan ilmiah tingkat tinggi ini, hehe...
Lanjut. Jadi, sekarang tiket pesawat dibayar sesuai harga, ga ada lagi uang lebihan yang bisa dikutip-kutip. Penghematan mungkin terjadi dari sini, ANDAI saja para wakil rakyat yang terhormat itu milih maskapai murah. Tapi yang terjadi, kalo dulu biasanya mereka ga masalah naik maskapai-maskapai kelas dua, setelah sistem berubah malah naik Garuda. Dipikirnya daripada rugi dua kali mungkin ya, udah ga bisa ngambil sisa dari duit tiket, masa mesti naik pesawat untuk rakyat jelata? Nehi. Mending yang bonafid sekalian, toh dibayarin pake duit RAKYAT ini, bukan duit nenek moyangnya.Yah, mungkin di situ mereka lupa.
Udah gitu, uang harian dan penginapan dinaikkan dua kali lipat! Misal, uang penginapan (yang masih pake sistem lumsum) naik dari Rp 540 ribu perhari jadi Rp 1,1 juta perhari. Jadi, gimana logikanya penghematan dengan perubahan sistem itu, jujur saya GAGAL PAHAM.
Meski diklaim paling ketat, sistem at cost masih punya celah penyimpangan. Bukti-bukti pertanggungjawaban penggunaan uang perjalanan dinas bisa aja dipalsukan, seperti kuitansi hotel dan boarding pass. Walaupun saya sih belum pernah denger ada kasus begini. Konon, ada mafia yang menjual tiket pesawat dan boarding pass palsu. Naik pesawat murah, trus kita bisa beli tiket dan boarding pass palsu dimana di situ tercantum harganya lebih mahal. Nah, tiket palsu itu yang diajukan untuk mencairkan uang. Gile, yang kek begini bisa aja jadi peluang bisnis, ampoooon...
Mungkin ada yang bertanya, kenapa ya biar dikritik kaya apa aja dan setajam apapun sorotan media terhadap aktivitas kunker anggota dewan ini, kayanya ga ngaruh gitu? Kunker jalan aja terus. Selentingan yang sampe ke kuping saya sih, 'plesiran' ini jadi semacam ajang buat tambah-tambah penghasilan sampingan mereka.
Loh, emang gaji yang belasan juta sebulan masih ga cukup? Ga! Dipotong cicilan kredit, utang, setoran ke partai, ngasih konstituen,bersihnya paling Rp 1-2 jt. Serius.
Di DPRD Kota Banjarmasin itu ada jatah kunker juga buat wartawan. Jadi, kalo studi banding raperda, wartawan diajak. Saya cuma pernah sekali ikut, waktu pertama-tama liputan, sekadar mau tau aja apa yang anggota dewan itu kerjakan kalo ke luar daerah.
Waktu itu daerah tujuannya ke Palu dan Surabaya. Singkatnya, berangkat lima hari, banyak waktu habis di jalan, pertemuan dengan pemda setempat paling 1-2 jam. Ga semua anggota dewan serius pas studi banding. Cuma 1-2 yg mencatat isi pertemuan, sisanya main hp. Tapi masih mending, ada juga yang tidur doang di hotel. Selebihnya liburan dan shopping.
Sekali itu aja saya pernah ikut. Setelahnya saya ga pernah mau lagi. Eneg aja.
Temen wartawan yang lain cerita lebih parah. Ada yang mabok-mabokan. Ga cuma yang bapak-bapak, tapi juga ada ibu-ibunya. Astaghfirullah.
Kalo kebeneran daerah yang didatengi itu daerah wisata, misalnya Bali, sekalian aja bawa anak istri. Kalo ke Batam, sekalian aja nyebrang ke Singapur.
Well, untuk menentukan daerah yang jadi tujuan kunker ini saya ga gitu paham. Tapi setelah sistemnya berubah dari lumsum ke at cost, pengamatan saya sih udah jarang milih daerah yang jauh-jauh. Kalo dulu demen banget ke Sulawesi yang penerbangannya transit-transit, sekarang paling banter seputaran Jawa aja.
Yang lucu, ada kesan mereka milih dulu daerah mana yang mau didatangi, trus baru search apakah di daerah bersangkutan memiliki peraturan daerah yang mau (konon) dipelajari. Logikanya kan harusnya dibalik, cari dulu daerah mana yang kinerjanya terbaik dalam hal penerapan peraturan daerah dimaksud.
Jadi, jangan heran kalo sepulangnya dari kunker, mereka bingung mau jawab apa ketika ditanya apa hasil belajarnya. Sekalinya jawab, yang diomongin malah soal betapa mewahnya gedung dewan di daerah lain, hiiikkksss…
Ah, kalo saya bercita-cita keliling Indonesia gratis, harusnya saya jadi anggota dewan aja kali ya. Atau jadi anggota DPR, biar bisa keliling dunia. Aseeeeek... ~('v~')('~v')~
Jadi, kunker anggota dewan : penting atau plesir?
peningkatan kapasitas = Rp 5,9 M
total = Rp 15 M
Saya lupa nyatet berapa anggaran sekretariat DPRD Kota Banjarmasin tahun 2012, tapi kalo anggaran di awal tahun 2013 aja Rp 21 M, dan tahun sebelumnya kurang lebih segitu juga, berarti lebih dari setengahnya habis buat kunker-mengkunker ini doang.
SARAP. Maap emosih.
Sistem pembiayaan perjalanan dinas luar daerah (bahasa birokratnya kunker) dari tahun ke tahun terus berubah. Demi efisiensi #katanya. Faktanya? Simak teruuuus...
Secara umum ada dua sistem pembiayaan. Tahun 2010 ke bawah, sistem yang dipake adalah LUMSUM (entah nulisnya bener atau ga). Sistem ini memakai standar biaya tertentu dan ga perlu pertanggungjawaban dengan kuitansi. Misal, penginapan sehari dipatok Rp 250 ribu. Tarif hotelnya Rp 500 ribu atau Rp 100 ribu, tetap dibayar Rp 250 ribu. Kalau ada sisa, masuk kantong.
Dengan sistem ini, biaya kunker untuk satu orang anggota dewan untuk satu kali perjalanan berkisar Rp 7-10 juta, tergantung daerah tujuan yang dibagi 3 kategori: Indonesia timur, tengah, & barat. Kecenderungannya dipilihlah daerah tujuan yang jauh, dengan pertimbangan lebih karena semakin jauh jaraknya, makin besar juga biayanya. Terus pilih hotel atau tiket pesawat yg murah, supaya banyak sisa uang saku yang bisa dihemat. Pinter banget kan penerapan prinsip ekonominya? Ini wakil rakyat apa pedagang baju di Pasar Sudimampir (pasar grosir terbesar di Banjarmasin) yak?
Suatu kali pernah ada kejadian heboh. Ketua DPRD (sebelum dilengserkan partainya di tengah jalan) yang memang dikenal di kalangan wartawan setempat suka ngawur, berbagi tips menguras anggaran saat menjamu tamu dari rombongan DPRD dari daerah mana gitu. Serius, dia ngomong begitu. Katanya, tiap kunker pilih aja daerah yang jauh, ke Papua kalo perlu. Entah lagi mabok atau ga sadar ada beberapa wartawan nguping pertemuan itu di kursi belakang. Parah.
Mulai tahun 2011, sistem perjalanan dinas berubah dari lumsum jadi AT COST secara bertahap sesuai arahan pemerintah pusat. Katanya sih sistem ini akan menghemat biaya kunker, karena biaya perjalanan dibayar sesuai pengeluaran yang sebenarnya. Mungkin agak ga rela kali ya dengan sistem ini, jadi pertama-tama yang di-at cost-kan hanya tiket pesawat saja.
Tapi apakah bener jadi lebih hemat? Jeng jeng... Belum ngantuk kan baca tulisan ilmiah tingkat tinggi ini, hehe...
Lanjut. Jadi, sekarang tiket pesawat dibayar sesuai harga, ga ada lagi uang lebihan yang bisa dikutip-kutip. Penghematan mungkin terjadi dari sini, ANDAI saja para wakil rakyat yang terhormat itu milih maskapai murah. Tapi yang terjadi, kalo dulu biasanya mereka ga masalah naik maskapai-maskapai kelas dua, setelah sistem berubah malah naik Garuda. Dipikirnya daripada rugi dua kali mungkin ya, udah ga bisa ngambil sisa dari duit tiket, masa mesti naik pesawat untuk rakyat jelata? Nehi. Mending yang bonafid sekalian, toh dibayarin pake duit RAKYAT ini, bukan duit nenek moyangnya.Yah, mungkin di situ mereka lupa.
Udah gitu, uang harian dan penginapan dinaikkan dua kali lipat! Misal, uang penginapan (yang masih pake sistem lumsum) naik dari Rp 540 ribu perhari jadi Rp 1,1 juta perhari. Jadi, gimana logikanya penghematan dengan perubahan sistem itu, jujur saya GAGAL PAHAM.
Meski diklaim paling ketat, sistem at cost masih punya celah penyimpangan. Bukti-bukti pertanggungjawaban penggunaan uang perjalanan dinas bisa aja dipalsukan, seperti kuitansi hotel dan boarding pass. Walaupun saya sih belum pernah denger ada kasus begini. Konon, ada mafia yang menjual tiket pesawat dan boarding pass palsu. Naik pesawat murah, trus kita bisa beli tiket dan boarding pass palsu dimana di situ tercantum harganya lebih mahal. Nah, tiket palsu itu yang diajukan untuk mencairkan uang. Gile, yang kek begini bisa aja jadi peluang bisnis, ampoooon...
Mungkin ada yang bertanya, kenapa ya biar dikritik kaya apa aja dan setajam apapun sorotan media terhadap aktivitas kunker anggota dewan ini, kayanya ga ngaruh gitu? Kunker jalan aja terus. Selentingan yang sampe ke kuping saya sih, 'plesiran' ini jadi semacam ajang buat tambah-tambah penghasilan sampingan mereka.
Loh, emang gaji yang belasan juta sebulan masih ga cukup? Ga! Dipotong cicilan kredit, utang, setoran ke partai, ngasih konstituen,bersihnya paling Rp 1-2 jt. Serius.
Di DPRD Kota Banjarmasin itu ada jatah kunker juga buat wartawan. Jadi, kalo studi banding raperda, wartawan diajak. Saya cuma pernah sekali ikut, waktu pertama-tama liputan, sekadar mau tau aja apa yang anggota dewan itu kerjakan kalo ke luar daerah.
Waktu itu daerah tujuannya ke Palu dan Surabaya. Singkatnya, berangkat lima hari, banyak waktu habis di jalan, pertemuan dengan pemda setempat paling 1-2 jam. Ga semua anggota dewan serius pas studi banding. Cuma 1-2 yg mencatat isi pertemuan, sisanya main hp. Tapi masih mending, ada juga yang tidur doang di hotel. Selebihnya liburan dan shopping.
Sekali itu aja saya pernah ikut. Setelahnya saya ga pernah mau lagi. Eneg aja.
Temen wartawan yang lain cerita lebih parah. Ada yang mabok-mabokan. Ga cuma yang bapak-bapak, tapi juga ada ibu-ibunya. Astaghfirullah.
Kalo kebeneran daerah yang didatengi itu daerah wisata, misalnya Bali, sekalian aja bawa anak istri. Kalo ke Batam, sekalian aja nyebrang ke Singapur.
Well, untuk menentukan daerah yang jadi tujuan kunker ini saya ga gitu paham. Tapi setelah sistemnya berubah dari lumsum ke at cost, pengamatan saya sih udah jarang milih daerah yang jauh-jauh. Kalo dulu demen banget ke Sulawesi yang penerbangannya transit-transit, sekarang paling banter seputaran Jawa aja.
Yang lucu, ada kesan mereka milih dulu daerah mana yang mau didatangi, trus baru search apakah di daerah bersangkutan memiliki peraturan daerah yang mau (konon) dipelajari. Logikanya kan harusnya dibalik, cari dulu daerah mana yang kinerjanya terbaik dalam hal penerapan peraturan daerah dimaksud.
Jadi, jangan heran kalo sepulangnya dari kunker, mereka bingung mau jawab apa ketika ditanya apa hasil belajarnya. Sekalinya jawab, yang diomongin malah soal betapa mewahnya gedung dewan di daerah lain, hiiikkksss…
Ah, kalo saya bercita-cita keliling Indonesia gratis, harusnya saya jadi anggota dewan aja kali ya. Atau jadi anggota DPR, biar bisa keliling dunia. Aseeeeek... ~('v~')('~v')~
Jadi, kunker anggota dewan : penting atau plesir?
Komentar
Posting Komentar