Ini tema tulisan ketiga saya. Sebenarnya temanya
bebas. Tapi saya pilih yang masih berbau perubahan iklim supaya matching. Ketemulah
saya sama tema yang unik ini, yakni batik yang pewarnanya dari pohon bakau.
Seperti kita tahu, pohon bakau itu perannya banyak
banget. Selain menahan laju abrasi, juga menyerap emisi gas rumah kaca. Tapi gak cuma itu ternyata, baru saya tau kalo dari pohon bakau itu bisa menghasilkan
bermacam-macam produk, mulai makanan sampe pewarna tekstil.
Batik bakau ini programnya Yagasu (udah saya
singgung di posting sebelumnya). Saya ketemu sama narasumber saya, Slamet
Mugiono namanya, Officer Manager
Yagasu, pas dia lagi bawa batik bakau ini di pameran Pekan Raya Sumatra
Utara (PRSU).
Sekilas gak ada yang terlihat beda dengan
batik yang sedang digambar oleh Kak Tika ini, salah seorang ibu rumah tangga
warga Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, binaan Yagasu. Tapi kalo ngikuti proses
pembuatan batik itu dari awal sampe selesai, maka kita akan tahu dimana letak
keistimewaannya.
Pengembangan batik organik dengan
pewarna alami dari pohon bakau sendiri merupakan bentuk pemberdayaan ekonomi
masyarakat ala LSM Yagasu. Supaya masyarakat mau ikut berperan serta dalam
pelestarian bakau, dipandang lebih mudah dengan pendekatan ekonomi. Program ini
baru dirintis sekitar enam bulanan.
Saat ini sekitar 70 persen kawasan hutan bakau di Sumatera Utara hilang karena alihfungsi lahan, hanya tersisa 50 ribu hektare yang masih terjaga. Padahal, dalam kaitannya dengan mitigasi perubahan iklim, Yagasu mencatat bahwa peran hutan bakau mengalahkan hutan terrestrial alias hutan yang ada di daratan, karena mampu menyerap 130 ton karbon perhektare atau lima kali lebih banyak.
Hampir semua bagian dari pohon bakau
bisa dijadiin bahan baku pembuatan pewarna tekstil, mulai akar, batang, sampe
buahnya. Dari sejumlah eksperimen, sejauh ini sudah dihasilkan lebih dari 30
warna.
Tapi pembuatan batik organik menuntut
kesabaran tinggi karena memakan waktu lamaaaa banget dibanding batik yang
menggunakan pewarna kimia. Untuk membuat pewarnanya aja, proses perebusan
bahan-bahannya perlu waktu 7-9 jam.
Sedangkan untuk menghasilkan warna kain
yang maksimal, pencelupan harus dilakukan enam sampe tujuh kali untuk kain
sutra dan 18 kali untuk kain katun. Beda dengan pewarna kimia, sekali celup
cukup. Rempooooong.
Jadi, harap dimaklumi kalo batik
organik dengan pewarna alami dari pohon bakau ini dihargai selangit. Saya aja
sampe kaget. Ada yang dibanderol ratusan ribu, ada yang sampe Rp 2,5 juta
perhelainya. Gak jadi beli deh 😴
Karena baru dirintis, saat ini
pemasaran belum berjalan. Tapi batik bakau karya tangan-tangan terampil perajin
di pesisir pantai Sumut ini udah siap-siap berlenggak-lenggok di Prancis loh! Wow
banget! Iya, soalnya kata Pak Slamet, program pengembangan batik bakau ini
di-support Hermes sebagai donator. Jadi, sekitar bulan Juni nanti kain-kain ini
bakal tampil di salah satu kiblat fashion dunia itu.
Kereeeeeeeeeen 😘
Komentar
Posting Komentar