Medan! Horas! : Perkenalan dengan Pak Anuar Tambusai

Ada tiga tulisan yang harus kami buat selama di daerah penugasan. Salah satunya berbentuk profil. Karena tema besarnya perubahan iklim, saya pun nyari-nyari informasi soal sosok-sosok individu atau komunitas yang aktivitasnya nyerempet-nyerempet dengan lingkungan.

Setelah berputar-putar, kemudian ada titik terang, lalu rencana yang dikira bakal berjalan mulus ternyata malah berantakan, makin pusing dikejar-kejar deadline, lagi dan lagi secara gak terduga saya justru ketemu dengan seseorang ini.

Saya ingin bercerita tentang Pak Anuar Tambusai. Seorang kenalan dadakan yang ngasih saya informasi soal aktivitas bapak itu melestarikan hutan bakau. Dia juga yang mengantar saya ke tempat Pak Anuar tinggal, di Dusun III Desa Rugemuk, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang. 

Dari hotel ke Deli Serdang, saya naik angkot, lamanya kira-kira dua jam. Terus menuju rumahnya Pak Anuar disambung naik mobil, masih 30-an kilometer lagi. Fiuh.

Saya gak sempat cari tau tentang dusun tempat Pak Anuar tinggal. Pas sampai saya disambut pemandangan beberapa orang tengah memperbaiki jaring sambil lesehan di bawah pohon, kapal-kapal sandar, dan sebuah dermaga kayu yang sibuk. Potret daerah pesisir yang identik dengan ketertinggalan.

Hm. Rasanya ada rindu yang sedikit terobati. Pemandangan itu yang selama beberapa bulan ini saya akrabi sejak tinggal di Kotabaru, dan pelan-pelan saya jatuh cinta. Dan layaknya orang yang jatuh cinta, kalau jauh-jauh tuh susah gitu, keinget terus, ahaha…

Kembali ke tujuan semula saya ke sana. Dia menyeruak dari rerimbunan pohon dengan bertelanjang dada dan celana selutut di siang terik itu. Kedua kaki dan tangannya belepotan lumpur. Orangnya kurus dan kecil.

"Saya sedang membuat bibit," kata Pak Anuar Tambusai mengawali perkenalan kami.

Sembari dia membersihkan diri, saya dipersilakan menunggu di warung kopi di depan rumahnya. Rumah itu begitu sederhana. Setengah dinding berbahan bata, sisanya tersusun dari papan-papan. 

Atap di sisi kiri depan tampak melengkung, dan beberapa bilah papan dibawahnya jebol, bekas tertimpa pohon gara-gara angin ribut baru-baru tadi.

Usai berbasa-basi sejenak, saya kemudian diajak menerobos hutan di belakang rumahnya untuk menengok aktivitas pembibitan dan penanaman pohon bakau yang telah 26 tahun dilakoninya. Selama itu, tidak kurang lahan seluas 15 hektare dia garap dan jutaan pohon dihasilkan. WOW!

Gak jauh berjalan, tibalah kami di sebuah tempat terbuka yang gak seberapa luas. Tanahnya kerontang dan retak-retak. Tapi setengah bulan lagi, daerah itu diperkirakan akan kembali berair. Biasanya dalam setahun, siklus semacam ini berlangsung selama tiga bulan.

Beberapa mamak-mamak terlihat sibuk menyendok lumpur ke dalam polybag. Di bawah pondok-pondok kecil beratap pelepah kelapa kering, berjajar rapi polybag-polybag yang ditengahnya menancap batang-batang hijau kurus berujung lancip kemerahan, sebagian sudah ditumbuhi helai-helai daun.

Itulah bibit-bibit pohon bakau yang akan ditanam di pantai desa setempat maupun dijual. Saya juga baru kali ini ngeliat bibit pohon bakau. 





Sama seperti penduduk desa kebanyakan, Pak Anuar tadinya seorang nelayan. Tahun 1980-an, dia menyadari kondisi hutan bakau di sana rusak dan terbengkalai setelah pembukaan lahan tambak.

Menurut Yayasan Gajah Sumatra (Yagasu), LSM yang concern dengan pelestarian bakau di Medan dan Aceh, hutan-hutan bakau yang dijadikan tambak banyak yang terbengkalai akibat penggunaan bahan kimia berlebih untuk meningkatkan produksi ikan karena tingginya permintaan pasar. 

Tapi paling lama tiga tahun, tambak udah gak menghasilkan lagi, lalu ditinggalkan begitu aja.

Karena kehilangan benteng pertahanan terhadap gerusan air laut, lama-lama pantai di desanya Pak Anuar mengalami abrasi hingga kira-kira 80 meter. 

Pak Anuar dan keluarganya yang tinggal gak jauh dari pantai tentu was-was. Tahun 1988, ia mulai membudidayakan bakau secara swadaya dengan mengandalkan uang yang diperolehnya dari melaut.

"Saya kan sering ikut pelatihan, saya juga tahu, kalau kayu (bakau) ini habis nanti banyak penyakit datang. Saya pikir masuk akal, kalau di tempat anak di Medan saya susah tidur, di sini enak sekali tidur," tutur Pak Anuar. 

begini penampakan hutan bakau yang udah direboisasi
dan begini kira-kira penampakan waktu masih rusak
ayo menanam

Menyimak kisah Pak Anuar, saya pikir alam semesta itu emang bener-bener berlaku adil terhadap makhluk yang tinggal diatasnya. Alam yang udah diselametin memberi imbal balik berupa kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik daripada hasil melaut bagi keluarga Pak Anuar.

Dengan bangga, Pak Anuar menyebut kedua anaknya bisa jadi sarjana dari hasil menjual bibit bakau. Meski rumahnya sederhana gitu, tapi jangan salah, Pak Anuar pernah megang uang Rp 500 juta dari sebuah perusahaan yang mengorder bibit bakau darinya. Ajegile…

Gak cuma dia sendiri yang menikmati, kegiatan pembibitan dan penanaman pohon bakau yang digagasnya itu juga membuka lapangan kerja bagi warga desa. Kayak ibu-ibu yang nyendokin lumpur ke polybag itu, sehari mereka bisa dapat rata-rata Rp 50 ribu. 

Bahkan, beberapa desa tetangga ikut menangguk berkah di hutan bakau Desa Rugemuk, yang setelah ditumbuhi pohon lagi kini banyak hidup kepiting.

Kalo anak-anaknya bergelar S1, Pak Anuar ngaku dirinya malah gak pernah mengecap bangku sekolah. Satu hal yang disesalinya dalam hidup, ketika ngeliat banyak sanak saudaranya yang lain jadi ‘orang’. Makanya dia bela-belain nyekolahin anaknya yang tinggi, supaya gak bernasib sama seperti dirinya.

Meski gak sekolah, tapi pengetahuan Pak Anuar yang mendalam dari hasil puluhan tahun bergelut dengan pohon bakau, membuatnya sering diminta mengajari para mahasiswa. Bahkan, dia juga dapet tawaran dari Universitas Sumatra Utara (USU) untuk bikin buku tentang seluk beluk bakau. 

Anuar Tambusai

Selain aktivitasnya melestarikan hutan bakau, banyak cerita menarik dari sosok Pak Anuar. Ternyata, dia juga punya darah Banjar, karena ibunya orang Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Oh my, dunia emang gak lebih lebar dari daun kelor ya…

Trus, Pak Anuar ini punya panggilan akrab Ucok Dogol. Ucok itu bukan dari panggilan untuk anak dalam suku Batak. Karena Pak Anuar gak punya darah Batak. Bapaknya orang Riau. Cuma Pak Anuar lahir dan tinggalnya aja di Sumut.

Jadi, Ucok itu dari kata recok, julukan yang dikasih neneknya, karena ayah dan ibunya suka ribut, hehe… Lama-lama recok jadi Ucok. Sedangkan Dogol itu artinya bandel. 

Pak Anuar bilang, dia itu cucu kesayangan neneknya. Neneknya orang kaya, karena itu waktu muda Pak Anuar gak kepikiran sekolah, foya-foya ngabisin harta neneknya aja kerjanya, haha… Asli begitu dia cerita.

Trus lagi, ada kesamaan saya dengan Pak Anuar, sama-sama suka keluyuran! Haha… Sebelum saya pamit, kita malah cerita-cerita soal Makassar.

Di dalam hati, saya begitu kagum dengan sosok bapak ini. Terlepas dari kekecewaannya yang gak ditutup-tutupi karena gak dipilih pemerintah daerah setempat untuk nominasi penerima Kalpataru (yang jadi menimbulkan pertanyaan tentang niat yang melatari apa yang dilakukannya selama ini, tapi ya saya pikir itu kekecewaan yang wajar dan sangat manusiawi), kisah hidup dan semangatnya tetaplah luar biasa.

Pak Anuar bilang, sekarang dia lagi merintis perusahaan pembibitan pohon, selain bakau juga buah-buahan, di kampung halaman bapaknya di Riau. Usianya gak lagi muda, dua tahun lagi menginjak kepala enam. Tapi dia masih punya mimpi dan mengejarnya. What an inspiring man!

Senang bisa mengenalmu, Pak... Sampai ketemu lagi.

Komentar