Ada tiga tulisan yang harus kami buat selama di
daerah penugasan. Salah satunya berbentuk profil. Karena tema besarnya
perubahan iklim, saya pun nyari-nyari informasi soal sosok-sosok individu atau
komunitas yang aktivitasnya nyerempet-nyerempet dengan lingkungan.
Setelah berputar-putar, kemudian ada titik terang,
lalu rencana yang dikira bakal berjalan mulus ternyata malah berantakan, makin
pusing dikejar-kejar deadline, lagi dan lagi secara gak terduga saya justru
ketemu dengan seseorang ini.
Saya ingin bercerita tentang Pak Anuar Tambusai.
Seorang kenalan dadakan yang ngasih saya informasi soal aktivitas bapak itu
melestarikan hutan bakau. Dia juga yang mengantar saya ke tempat Pak Anuar
tinggal, di Dusun III Desa Rugemuk, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli
Serdang.
Dari hotel ke Deli Serdang, saya naik angkot, lamanya kira-kira dua
jam. Terus menuju rumahnya Pak Anuar disambung naik mobil, masih 30-an
kilometer lagi. Fiuh.
Saya gak sempat cari tau tentang dusun tempat Pak
Anuar tinggal. Pas sampai saya disambut pemandangan beberapa orang tengah
memperbaiki jaring sambil lesehan di bawah pohon, kapal-kapal sandar, dan
sebuah dermaga kayu yang sibuk. Potret daerah pesisir yang identik dengan
ketertinggalan.
Hm. Rasanya ada rindu yang sedikit terobati.
Pemandangan itu yang selama beberapa bulan ini saya akrabi sejak tinggal di
Kotabaru, dan pelan-pelan saya jatuh cinta. Dan layaknya orang yang jatuh
cinta, kalau jauh-jauh tuh susah gitu, keinget terus, ahaha…
Kembali ke tujuan semula saya ke sana. Dia
menyeruak dari rerimbunan pohon dengan bertelanjang dada dan celana selutut di
siang terik itu. Kedua kaki dan tangannya belepotan lumpur. Orangnya kurus dan
kecil.
"Saya sedang membuat bibit," kata Pak
Anuar Tambusai mengawali perkenalan kami.
Sembari dia membersihkan diri, saya dipersilakan
menunggu di warung kopi di depan rumahnya. Rumah itu begitu sederhana. Setengah
dinding berbahan bata, sisanya tersusun dari papan-papan.
Atap di sisi kiri
depan tampak melengkung, dan beberapa bilah papan dibawahnya jebol, bekas
tertimpa pohon gara-gara angin ribut baru-baru tadi.
Usai berbasa-basi sejenak, saya kemudian diajak
menerobos hutan di belakang rumahnya untuk menengok aktivitas pembibitan dan
penanaman pohon bakau yang telah 26 tahun dilakoninya. Selama itu, tidak kurang
lahan seluas 15 hektare dia garap dan jutaan pohon dihasilkan. WOW!
Gak jauh berjalan, tibalah kami di sebuah tempat
terbuka yang gak seberapa luas. Tanahnya kerontang dan retak-retak. Tapi
setengah bulan lagi, daerah itu diperkirakan akan kembali berair. Biasanya
dalam setahun, siklus semacam ini berlangsung selama tiga bulan.
Beberapa mamak-mamak
terlihat sibuk menyendok lumpur ke dalam polybag. Di bawah pondok-pondok kecil
beratap pelepah kelapa kering, berjajar rapi polybag-polybag yang ditengahnya
menancap batang-batang hijau kurus berujung lancip kemerahan, sebagian sudah
ditumbuhi helai-helai daun.
Itulah bibit-bibit pohon bakau yang akan ditanam di
pantai desa setempat maupun dijual. Saya juga baru kali ini ngeliat bibit pohon
bakau.
Sama seperti penduduk desa kebanyakan, Pak Anuar
tadinya seorang nelayan. Tahun 1980-an, dia menyadari kondisi hutan bakau di sana
rusak dan terbengkalai setelah pembukaan lahan tambak.
Menurut Yayasan Gajah
Sumatra (Yagasu), LSM yang concern dengan pelestarian bakau di Medan dan Aceh, hutan-hutan
bakau yang dijadikan tambak banyak yang terbengkalai akibat penggunaan bahan
kimia berlebih untuk meningkatkan produksi ikan karena tingginya permintaan
pasar.
Tapi paling lama tiga tahun, tambak udah gak menghasilkan lagi, lalu
ditinggalkan begitu aja.
Karena kehilangan benteng pertahanan terhadap
gerusan air laut, lama-lama pantai di desanya Pak Anuar mengalami abrasi hingga
kira-kira 80 meter.
Pak Anuar dan keluarganya yang tinggal gak jauh dari pantai
tentu was-was. Tahun 1988, ia mulai membudidayakan bakau secara swadaya dengan
mengandalkan uang yang diperolehnya dari melaut.
"Saya kan sering ikut pelatihan, saya juga tahu, kalau kayu (bakau) ini habis nanti
banyak penyakit datang. Saya pikir masuk akal, kalau di tempat anak di Medan
saya susah tidur, di sini enak sekali tidur," tutur Pak Anuar.
| begini penampakan hutan bakau yang udah direboisasi |
| dan begini kira-kira penampakan waktu masih rusak |
| ayo menanam |
Menyimak kisah Pak Anuar, saya pikir alam semesta
itu emang bener-bener berlaku adil terhadap makhluk yang tinggal diatasnya. Alam
yang udah diselametin memberi imbal balik berupa kehidupan ekonomi yang jauh
lebih baik daripada hasil melaut bagi keluarga Pak Anuar.
Dengan bangga, Pak Anuar menyebut kedua anaknya
bisa jadi sarjana dari hasil menjual bibit bakau. Meski rumahnya sederhana
gitu, tapi jangan salah, Pak Anuar pernah megang uang Rp 500 juta dari sebuah
perusahaan yang mengorder bibit bakau darinya. Ajegile…
Gak cuma dia sendiri yang menikmati, kegiatan pembibitan dan penanaman pohon
bakau yang digagasnya itu juga membuka lapangan kerja bagi warga desa. Kayak ibu-ibu
yang nyendokin lumpur ke polybag itu, sehari mereka bisa dapat rata-rata Rp 50
ribu.
Bahkan, beberapa desa tetangga ikut menangguk berkah di hutan bakau Desa
Rugemuk, yang setelah ditumbuhi pohon lagi kini banyak hidup kepiting.
Kalo anak-anaknya bergelar S1, Pak Anuar ngaku
dirinya malah gak pernah mengecap bangku sekolah. Satu hal yang disesalinya
dalam hidup, ketika ngeliat banyak sanak saudaranya yang lain jadi ‘orang’. Makanya
dia bela-belain nyekolahin anaknya yang tinggi, supaya gak bernasib sama seperti
dirinya.
Meski gak sekolah, tapi pengetahuan Pak Anuar yang
mendalam dari hasil puluhan tahun bergelut dengan pohon bakau, membuatnya
sering diminta mengajari para mahasiswa. Bahkan, dia juga dapet tawaran dari
Universitas Sumatra Utara (USU) untuk bikin buku tentang seluk beluk bakau.
| Anuar Tambusai |
Selain aktivitasnya melestarikan hutan bakau,
banyak cerita menarik dari sosok Pak Anuar. Ternyata, dia juga punya darah
Banjar, karena ibunya orang Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Oh my,
dunia emang gak lebih lebar dari daun kelor ya…
Trus, Pak Anuar ini punya panggilan akrab Ucok
Dogol. Ucok itu bukan dari panggilan untuk anak dalam suku Batak. Karena Pak
Anuar gak punya darah Batak. Bapaknya orang Riau. Cuma Pak Anuar lahir dan
tinggalnya aja di Sumut.
Jadi, Ucok itu dari kata recok, julukan yang
dikasih neneknya, karena ayah dan ibunya suka ribut, hehe… Lama-lama recok jadi
Ucok. Sedangkan Dogol itu artinya bandel.
Pak Anuar bilang, dia itu cucu
kesayangan neneknya. Neneknya orang kaya, karena itu waktu muda Pak Anuar gak kepikiran sekolah, foya-foya ngabisin harta neneknya aja kerjanya, haha… Asli
begitu dia cerita.
Trus lagi, ada kesamaan saya dengan Pak Anuar,
sama-sama suka keluyuran! Haha… Sebelum saya pamit, kita malah cerita-cerita soal
Makassar.
Di dalam hati, saya begitu kagum dengan sosok bapak
ini. Terlepas dari kekecewaannya yang gak ditutup-tutupi karena gak dipilih
pemerintah daerah setempat untuk nominasi penerima Kalpataru (yang jadi menimbulkan
pertanyaan tentang niat yang melatari apa yang dilakukannya selama ini, tapi ya saya pikir itu kekecewaan yang wajar dan sangat manusiawi), kisah hidup dan
semangatnya tetaplah luar biasa.
Pak Anuar bilang, sekarang dia lagi merintis perusahaan
pembibitan pohon, selain bakau juga buah-buahan, di kampung halaman bapaknya di
Riau. Usianya gak lagi muda, dua tahun lagi menginjak kepala
enam. Tapi dia masih punya mimpi dan mengejarnya. What an inspiring man!
Senang bisa mengenalmu, Pak... Sampai ketemu lagi.
Komentar
Posting Komentar