Get Lost in Kotabaru : Desa Pantai

pagi di Desa Pantai 

Desa Pantai, ibukota Kecamatan Kelumpang Selatan, Kabupaten Kotabaru. Dari kota jalan darat, kira-kira 2-3 jam, plus nyebrang feri. Kata orang-orang jalannya bagus. 

Tapi kalo kata saya, kalo orang sini bilang jalan bagus, jangan 100% percaya. Jalan berbatu aja udah dibilang bagus.

Tapi naik speedboat sebentar doang, mungkin gaK sampai setengah jam. Naiknya dari Pelabuhan Pendek Empat Serangkai. 

Tarifnya tergantung jumlah penumpang. Kalo full, biaya carter speedboat Rp 150 ribu sekali jalan bisa dibagi berenam. Baiknya berangkat pagi-pagi biar banyak temen. 

Saya main-main ke sana sekitar dua minggu yang lalu. Yang pertama kali saya cari begitu desa ini mulai tampak dari kejauhan adalah : mana pantainya?

Hehehe.

Pasti banyak yang ketipu. Namanya aja Desa Pantai, tapi gaK ada pantainya. Desanya langsung bersisian dengan laut.






Trus, apa yang mau saya liat di sini?

Sebenernya gak ada tujuan spesifik. Sekadar memuaskan hasrat bertualang, ahaha... Gak ada seorang pun yang saya kenal di daerah ini. Saya juga cuma jalan sendiri. 

Trus speed atau kapal yang ke kota adanya cuma pagi (kalo speed ada 24 jam, cuma kalo gak ada penumpang ya mesti carter). Angkutan darat malah gak ada sama sekali. Artinya, gak bisa pulang pergi sehari. 

Tapi alhamdulillah di setiap perjalanan saya selalu ketemu banyak orang baik. Selama empat malam di sini, saya tidur pindah-pindah di rumah penduduk. Makan juga terjamin, kalopun makan di warung harganya murah sangat.

Pulang-pulang, saya ditanya sama ibu kos saya, ke Cantung (Kecamatan Kelumpang Hulu) yang jauh aja bisa PP, masa ke Pantai (orang sini suka mengidentikkan nama kecamatan dengan nama ibukotanya) yang deket sampe berhari-hari? Hihihi...

Well, tak disangka tak dinyana, desa kecil ini punya sejuta cerita...

Potret Proyek Pemerintah yang Ngawur

Mulai dari proyek cetak sawah yang bermasalah. Itu loh program pemerintah pusat untuk mewujudkan swasembada beras, lahan tidur disulap jadi persawahan. Di daerah lain mungkin ada yang berhasil. Tapi di Desa Pantai, kesannya semacam jadi proyek aja gitu. 

Uangnya dapet, proyeknya gak jalan. Bantuannya ngalir, sawahnya gak ada. Anehnya desa ini dapet tiga kali program cetak sawah berturut-turut. Dananya gak sedikit, miliaran. Hasilnya? Hutan!

Saya gak tau bahwa isu ini sangat sensitif, apalagi sekarang menjelang pemilihan kepala desa, hawa Desa Pantai sedang memanas, tsaaaaaaaah... 

Saya cuek aja gitu ngalor ngidul sendirian berapa hari di desa ini ngulik-ngulik masalah program cetak sawah yang gagal itu dan menemui beberapa orang yang terkait, tanpa sadar ada mata-mata yang mengawasi gerak-gerik saya.

Sampe sehari sebelum saya pulang, salah seorang penduduk setempat yang minjemin saya motor, mengadu bahwa dua hari dua malam dia gak nyenyak tidur karena diancam pihak-pihak yang merasa 'terganggu' dengan kedatangan saya. Dia dituduh sengaja menyuruh saya datang ke desa buat ngubek-ngubek masalah sawah itu.

Sungguh saya merasa bersalah dan gak nyaman. Jadi saya menyetujui untuk diajak ketemu dengan si pengancam itu untuk meluruskan masalah, meski di dalam hati dag dig dug juga. Bisa keluar hidup-hidup gak nih gue? Hahaha...

Dan saya dibuat terkaget-kaget, karena pihak-pihak yang kebakaran jenggot tersebut tau detil aktivitas saya selama di desa itu, saya jalan sama siapa, saya nginep di rumah siapa. Saya juga dibilang gak tau sopan santun karena masuk 'wilayah kekuasaan' orang tanpa permisi. 

Dan untuk pertama kali, saya diancam dengan bahasa yang sangat vulgar. Memang, gak cuma sekali ini saya dapet masalah kayak gini. Tapi belum pernah saya diancam terang-terangan.

Asli, rasanya pingin pulang saat itu juga, haha... Tapi kalo kita bener, ngapain takut? Jadi, saya jelaskan bahwa saya gak memihak siapapun, tidak berada di kubu manapun, dan gak punya kepentingan apapun. Yang untungnya bisa diterima akal sehat mereka.

Hmmm, kalo memang gak ada apa-apa dan gak ada yang salah, kenapa orang-orang itu mesti terusik? Malah bikin tambah curiga bahwa memang ada sesuatu yang ditutup-tutupi, kan?

Selain kisruh cetak sawah itu, masih ada proyek gak jelas lain di Desa Pantai, yakni pengadaan tandon-tandon air untuk sarana prasarana air bersih bagi warga. Sudah setahun lebih sejak proyek selesai, tandon-tandon itu cuma nganggur aja gitu gak diisi. Masalahnya gak ada sumber air buat ngisinya.

Ada kolam penampungan air hujan milik desa, tapi debitnya sangat kecil, gak cukup mengisi seluruh tandon itu. Sudah diusulkan perluasan kolam, tapi gak kunjung ditanggapi. Malah warga harus swadaya sendiri mengusahakan lahan untuk perluasan kolam.

Errrr... waktu bikin proyek ini pemerintah tuh mikirnya gimana ya? Masa gak dipikirin darimana airnya? Aneh banget kan?

Semua Serba Krisis

Kecamatan Kelumpang Selatan pada umumnya adalah salah satu daerah di Kabupaten Kotabaru yang nyaris gak punya sumber air bersih. Sumber air terdekat ada di Kecamatan Kelumpang Hulu yang berjarak sekitar 60 kilometer. 

Solusi paling realistis adalah membangun embung atau penampungan air hujan. Masalahnya itu tadi, udah disinggung kan, kolam milik desa daya tampungnya gak memadai untuk memenuhi kebutuhan air seluruh warga.

Di Desa Pantai yang dekat dengan laut, sumur gak bisa digali lebih dari kedalaman 500 meter, karena airnya gak akan lagi bisa dikonsumsi. Warga yang gak punya sumur, beli air dari warga lain yang punya kolam pribadi. Itu untuk kebutuhan sehari-hari kayak mandi dan cuci. Untuk minum, sebagian warga lebih memilih beli air isi ulang yang didatangkan dari kota.

Gak cuma krisis air bersih, Kecamatan Kelumpang Selatan juga krisis minyak tanah. Kabupaten Kotabaru belum melaksanakan konversi elpiji, jadi warganya masih pake minyak tanah.

Kecamatan Kelumpang Selatan sendiri dapet kuota 5000 liter perminggu, dimana setiap kepala keluarga dijatah tiga liter. Itupun dari sembilan desa, yang dapet jatah cuma lima desa dengan jumlah penduduk sekitar 1600 KK.

Tiga liter. SEMINGGU. Kayak gak niat gitu ya ngasih jatahnya -.-

Yang lebih parah, cuma ada satu pangkalan minyak tanah yang melayani, adanya di Desa Pantai. Jadi warga dari desa-desa lain harus rela jauh-jauh ke Desa Pantai cuma DEMI tiga liter minyak tanah.

"Ya gak cukup segitu. Tapi lumayan daripada beli di eceran, mahal," kata seorang warga dari Desa Sangking Baru, sekitar 11 kilometer dari Desa Pantai.

Kalo gak ada di eceran, alternatifnya pakai kayu bakar. Atau kalo warga yang mampu, pakai elpiji 12 kg yang harganya juga selangit.

Sudah krisis air bersih dan bahan bakar minyak, masih lagi ditambah krisis listrik. Ini kayak lagu lama yang diputer ulang terus tiap kali saya jalan ke daerah-daerah pelosok. Masalah listrik selaluuuu aja dikeluhkan. Di Desa Pantai, subuh-subuh udah mati lampu aja sampe siang, nanti sorenya bisa mati lagi.

Sungguh, saya gak ngerti. Bener-bener gak habis pikir. Kotabaru ini daerah kaya kan ya? Kekayaan alamnya melimpah ruah kan ya? Itu tongkang-tongkang batu bara yang tiap hari melintas, dibawa kemana? Itu minyaknya dibor, larinya kemana? Bagaimana bisa penduduknya hidup di tengah kondisi yang kayak zaman primitif gini?

KAMPRET.

Kata Bupati, Sekolah Ini Kayak Kandang Sapi

Sepintas bangunan SDN 1 Pantai tampak masih layak. Setengah kelas udah beton. Tapi setengahnya masih dari kayu, yang kata mantan Bupati Sjachrani Mataja kayak kandang sapi.

Gak segitunya juga sih sebenernya. Tapi meski udah dikunjungi orang nomor satu, sampe sekarang bangunan yang katanya kayak kandang sapi itu tetep aja gak berubah.

Trus seiring bertambahnya murid, sekolah ini mulai kekurangan kelas. Ada satu kelas yang terpaksa digilir masuk siang. Dan ada dua kelas yang mesti berbagi ruangan. Sekatnya cuma papan tulis. Jam belajarnya sama. Supaya gak saling mengganggu, guru harus mengajar bergantian. Kalo guru di kelas yang satu lagi menerangkan, guru di kelas sebelahnya mesti diem dulu.

*pemerintahmanapemerintah? *celingak-celinguk

Jalan-jalan ke Pantai Tanjung Pangga

Oke, kita tinggalkan sejenak Desa Pantai dengan segudang masalahnya. Kita jalan-jalaaaaaaaaan... Hehe...

Saya baca di internet, tulisan seorang temen tentang objek wisata pantai baru di Desa Tanjung Pangga, salah satu desa di Kecamatan Kelumpang Selatan. Pantainya indah bla bla bla. Terus saya search gambarnya, bikin meleleh...

Maka, dengan motor pinjeman lagi butut, saya bela-belain menerjang hari yang terik demi ngeliat langsung keindahannya. Ternyata, jauh bingits! Dari Desa Pantai, itu sekitar dua jam, melewati beberapa desa.

Akses jalannya, beuuuuh... Rasanya kayak motor yang saya pake pada mau copot onderdilnya, gkgkgk... Berbatu-batu, banyak jembatan kayu yang kondisinya mengkhawatirkan, trus di beberapa titik ada kubangan yang mirip lintasan off road. Mana ngelewati perkebunan sawit yang sepiiiiii... Sereeeem...

Dan, begitu sampe, rasanya perjalanan yang penuh perjuangan itu gak sebanding dengan kenyataan yang harus saya terima. Gak kayak di gambar.






Pas saya tanya orang-orang, dimana yang ada batu-batunya, mungkin katanya itu pantai yang di Tanjung Dewa. Itu masih jauuuuh lagi, dan ke sana jalannya gak memungkinkan naik motor. Weleh... 

Beberapa orang terbengong-bengong mendengar saya cerita naik motor sendirian ke Tanjung Pangga. Kata mereka, jalanan yang saya lewati lumayan angker dan banyak isu kejahatan. Bahkan ada warga Desa Pantai yang pernah jadi korban perampokan. Astagaaaaaa... Tobat tobaaaat...

In the End

Akhirnya, setelah melebihi batas hari yang saya tentukan sendiri, hehe, saya balik juga ke kota. Meski dengan perasaan agak mengganjal, yang soal sawah itu, saya agak was-was aja kalo terjadi apa-apa dengan orang-orang yang sebenernya gak tau apa-apa. Semoga enggak.

Waktu subuh-subuh saya pamitan sama ketua RT yang rumahnya saya inapi dua malam, saya sampe dipeluk dengan sedikit isakan, hiks hiks... Note : ketua RT-nya kakek-kakek, jangan mikir aneh-aneh loh!

Ini adalah salah satu hal yang membuat saya ingin untuk terus melakukan perjalanan. Bertemu dengan orang-orang asing, yang tadinya gak saling mengenal satu sama lain, akhirnya gak jarang jadi keluarga. Yang membuat saya merasa bahwa dunia ini gak buruk-buruk amat kok, dunia ini masih tempat yang indah, karena masih banyak orang baik dan bisa kita percaya di luar sana.

Hal lain adalah saya bisa menjadi telinga untuk suara-suara mereka yang gak didengar. Juga jadi mulut untuk menyuarakan apa yang mereka ingin sampaikan, tapi gak sampai. Dan semoga setelahnya ada perubahan yang lebih baik.

senja di Desa Pantai

Komentar

  1. Kereen...sangat mengesankan perjalan anda, saya dahulu banget ada di desa ini, family saya masih banyak disini, setelah puluhan tahun meninggalkan desa ini, saya kembali di lebaran tadi, berkunjung kebeberapa rumah teman dan keluarga, sambil melihat kenangan masa lalu..saya kdesa ini melalui darat, sangat disayangkan sekali aksesnya sangat buruk dibanding 20th yg lalu, kelihatannya aspal yg dlu ga pernah di perbaiki lagi sehingga jalanan jadi lumpur dan kubangan, namun ad sedikit skitar 3-4 kilometer dr pelabuhan yg kelihatannya baru di aspal...semoga saja pemimpin di kabupaten bs lebih memperhatikan aksesnya..karna akses sangat penting dibangun untuk pengembangan suatu wilayah...sekarang saya dikota banjarbaru, jika ada temen2 yg kenal mohon hub wa saya, 08127325321,
    Last...dengan adanya artikel anda, saya sangat berterima kasih sudah mau mengaplikasikannya..

    BalasHapus

Posting Komentar