Get Lost in Kotabaru : Teluk Tamiang (part #2)

Orang-orang biasanya datang ke Teluk Tamiang untuk snorkeling. Tapi karena saya gak bisa berenang ㇐walaupun ada temen bilang gak perlu bisa berenang untuk bisa snorkelingdan gak punya alatnya juga, udah cukuplah menikmati indahnya pantai dari dermaga. Sambil nyari sinyal.


Di sini, Telkomsel pun gak berdaya. Sinyal cuma ada di dermaga. Itulah sebabnya kenapa malam itu Pak Borahim gak bisa dihubungi.

Tapi itu saya gak terlalu kaget. Yang lebih bikin terkejut adalah ternyata saat saya datang itu, Desa Teluk Tamiang baru aja merdeka listrik.

Baru beberapa bulan warganya bisa menikmati listrik 24 jam penuh. Sebelumnya listrik cuma mengalir malam hari.

㇐sebuah tempat dengan potensi wisata dan ekonomi luar biasa, akses jalannya nyaris putus dan tanpa listrik, dagelan apa ini?

Selesai acara Mappanretasi saya masih stay beberapa hari di Teluk Tamiang. Hm, setelah melewati jalan yang tak terbayangkan, terus mau pulang begitu saja? Tunggu dulu anak muda!

Yang saya sesali adalah saya gak bawa motor sendiri, jadi repot mau kemana-mana. Tapi kalopun saya bawa motor dari Kotabaru, saya juga gak yakin sih bakal nyampe ke Teluk Tamiang, kemungkinan besar balik kanan di tengah jalan deh, heuheu… 

Trus waktu itu cuaca juga kayaknya lagi musuhin saya. Entah ngambek apa dia. Hujan melulu. Nyaris seharian.

Tapi ada beberapa tempat yang sempet saya datangi, yang memberi cerita sendiri-sendiri. Jadi hari-hari saya di Teluk Tamiang gak basi-basi banget.

Ketika Laut Tak Lagi Memberi Hidup

Satu di antara cerita itu datang dari seorang tokoh di desa itu, Pak Sulaiman namanya. Yang udah ke Teluk Temiang pasti familier dengan sosok ini. 

Saya pun meski belum pernah ketemu tapi gak asing dengan namanya, karena namanya pasti selalu disebut dalam tiap tulisan tentang Teluk Tamiang. Search di Google deh coba.

Pak Sulaiman ini terkenal karena pernah puluhan tahun jadi kepala desa dan rumahnya biasa jadi penampungan para pelancong karena di Teluk Tamiang gak ada penginapan.

Yang saya bilang gak semua tokoh masyarakat Teluk Tamiang setuju adanya Mapparentasi, ya beliau ini orangnya. 

Alasannya terkait masalah keagamaan, karena Mappanretasi itu kan yah, agak rada klenik gitu lah. Meski begitu, saat Mappanretasi saya melihat beliau tetap ikut terlibat dalam acara mendampingi pejabat yang hadir.

Saya sendiri menemui Pak Sulaiman karena mau tanya-tanya soal budidaya rumput laut. Selain pantai dan terumbu karang, Teluk Tamiang juga identik sama rumput laut. 

Pagi itu pas saya ke rumahnya, Pak Sulaiman kebetulan gak ada. Sehari-hari rupanya beliau bantu-bantu di kantor Balai Benih Ikan Pantai yang ada di Desa Teluk Tamiang.

Saya pun memutuskan menyusul. Di balai ini sinyal lebih baik, mungkin karena posisinya tinggi di atas bukit. Dan posisi terbaik untuk mendapat kekuatan sinyal paling maksimal adalah di bawah pohon mangga yang ada di halamannya, hahaha… 

Tapi ini serius. Makanya setelah itu saya gak lagi nyari-nyari sinyal di dermaga dan jadi sering nongkrong di balai, tepatnya di bawah pohon mangga.

Niat awalnya ke balai cuma mau ketemu Pak Sulaiman, eh malah jadi kenalan sama orang-orang balai. Dan berujung pada berkeliling area balai untuk ngeliat aktivitas produksi benih ikan di situ. 

Saya juga diajak nengok keramba yang mengapung di tengah laut. SEREM abis! Gak kebayang yang kerja jaga keramba itu, saya cuma berdiri bentar doang di keramba yang goyang-goyang udah kleyengan.

Balik dari keramba, kapal menuju dermaga yang berbeda. Beberapa meter sebelum mencapai dermaga, Pak Sulaiman nunjukin ke saya bentangan tali yang jadi tempat budidaya rumput laut, longline istilahnya.

Panjangnya bervariasi antara 25 meter sampe 50 meter. Satu longline berukuran 25 meter bisa menghasilkan 1-2 kwintal rumput laut, padahal bibit yang ditanam awalnya cuma 2-3 kilogram. Satu orang petani rumput laut bisa memiliki 100-200 bentangan longline.

Masa panen tiap sebulan sekali, idealnya 40-60 hari. Luas areal budidaya rumput laut di Desa Teluk Tamiang yang sudah dimulai sejak tahun 1997 itu ada sekitar 300 hektare dengan jumlah petani sekitar 100 orang. 

Hasilnya taraf hidup mereka meningkat. Selain dijual mental, rumput laut itu juga diolah jadi bermacam penganan, kayak sirop dan dodol.

Tapiiiiiiiiiiii…  Itu dulu. Sejak sekitar dua atau tiga tahun lalu semua berubah. Rumput-rumput laut itu gak lagi bisa tumbuh. Belum sempat besar, udah keburu mati. 

Bentangan longline yang sebelumnya centang perenang pun ditarik ke darat, hanya secuil yang masih bertahan. Sebagian besar petaninya pun kembali jadi nelayan.

“Konon Teluk Tamiang ini yang terbagus di Kalsel untuk lokasi dan pengolahan. Makanya bingung kan,” kata Pak Sulaiman.

Menurut Pak Sulaiman, ada peneliti dari Unlam yang menyatakan kemungkinan perairan Teluk Temiang tercemar limbah perkebunan sawit.

Baru dugaan memang. Tapi bagi Pak Sulaiman, cukup masuk akalnya. Perubahan memang terjadi sejak perkebunan sawit marak.

Di Desa Teluk Tamiang sendiri ada pelabuhan khusus batubara. Tapi limbahnya yang lebih kasat mata berupa serpih-serpih debu kehitaman seperti yang saya liat di pantai kayaknya gak dirasakan dampaknya sama masyarakat. 

Pelabuhan itu udah ada jauh sebelum masyarakat mulai membudidayakan rumput laut dan rumput laut yang mereka tanam tetap bisa hidup dengan baik.

Pas balik ke Kotabaru saya sempet mengonfirmasi ini ke pihak pemerintah, dan seperti biasa, hanya untuk mendapat jawaban yang tidak menjawab, hehe… 

Badan Lingkungan Hidup Daerah gak mengetahui masalah ini karena gak mendapat laporan. Sementara menurut salah satu pejabat di Dinas Kelautan dan Perikanan, untuk membuktikan pencemaran di perairan itu sulit mengingat (sejauh penjelasan yang bisa saya tangkep) sifat air yang mampu menetralisir diri mereka sendiri dengan cepat.

Sebelum kami pulang, Pak Sulaiman mentraktir saya minum air kelapa. Kebetulan lagi ada orang metik kelapa di dekat kami. 

Kelapa hijau ranum menggemaskan yang baru dipetik dari pohon itu rasanya kelapa paling enak yang pernah saya icip. 

Apalagi minumnya pas di tepi pantai sambil dinyanyiin ombak dan dibelai angin. Yang kurang dari suasana saat itu mungkin cuma gak ada kamu #nguik nguiiik…

Saya jadi berpikir, di Kotabaru itu (kalo saya gak salah inget) 60 persen penduduknya adalah nelayan. Laut menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari separuh manusianya. Lantas, apa yang akan terjadi jika laut tak lagi memberi hidup?

Komentar