Jadi Apapun Kita, Yang Penting Luruskan Niat

Saat ini, ada satu topik yang sedang menguasai pembicaraan di sekitar saya : penerimaan CPNS.
 
Di BBM, beberapa temen menggalau bingung mau daftar di daerah mana. Di dinding Facebook, orang-orang saling berbagi tautan informasi formasi maupun portal pendaftaran.

Di kantor-kantor pemerintahan, para pegawai yang belum PNS membincangkan perasaan mereka yang harap-harap cemas berkasnya lolos seleksi administrasi atau enggak. 

Dan di warnet, sekarang isinya kayaknya orang-orang yang pada mau daftar CPNS semua. Sebagian ada yang nanya ke saya ketika mereka mendapat kesulitan, “Mbaknya daftar PNS juga?”

Saya pun menoleh sambil memasang senyum manis dan menjawab,” Enggak,” lalu kembali asyik ngeblog.

Well, penerimaan CPNS ini bak sebuah hajatan besar ya, yang disambut dengan begitu gegap gempita. Lebih dari Pemilu. Pas musim pemilihan lalu, orang-orang pada nyantai aja. Begitu ada penerimaan CPNS, semua orang heboh.

Saya? Nyepi aja di pojok.

Beberapa tahun lalu, pas kumpul dengan beberapa temen, entah apa yang lagi diobrolin saya lupa persisnya, saya cuma inget waktu itu pernah mengucap begini, “Gak, gue gak minat jadi PNS.”

Salah satu dari sejumlah orang yang ada di meja itu langsung nyamber, “Gue juga andai kuliahnya gak ngambil guru, gak mau jadi PNS (note: sampe sekarang saya masih bingung, apa ya korelasinya antara ‘andai gak kuliah guru’ sama ‘gak mau jadi PNS’? Apa guru harus PNS? Atau orang-orang jadi guru biar jadi PNS?),” katanya, dengan ekspresi (kalo saya nerjemahin, seperti orang) tersinggung. Si temen ini, yang kebetulan baru akrab, kebetulan juga udah jadi PNS.

Umm, ada yang salah ya dengan kata-kata saya?

Rasanya nada bicara saya selow aja. Ga ada juga sedikitpun maksud mendiskreditkan profesi si temen sebagai aparatur negara. Suer!

Temen yang lain bertanya, “Kenapa lo gak mau jadi PNS?”

“Umm…,” saya bingung mau menjawab. Karena ibunya si temen yang nanya itu juga PNS, dan takut si temen yang (kayaknya) tersinggung tadi mukanya makin empet liat saya. “Yah, gak papa, gak minat aja,” sahut saya akhirnya.

Gak semua yang ada di kepalamu harus diburai-burai, kan? Apalagi kalo cuma akan berefek ngerusak suasana #rule-penting-dalam-pertemanan.

Waktu saya bahas betapa keuangan daerah lebih banyak habis untuk belanja pegawai di sini, ada yang berkomentar nyolot juga. Bahwa saya mestinya gak ngeliat kenaikan gaji PNS-nya aja, tapi liat juga bahwa ada PNS golongan rendah yang gajinya minim.

Padahal andai dibaca baik-baik, yang saya soal bukan kenaikan gaji PNS, tapi lebih ke anggaran belanja pegawai (catet, komponen belanja pegawai BUKAN CUMA gaji PNS) yang lebih membebani keuangan daerah dibanding untuk bangun infrastruktur. 

Dan itu juga sebenernya yang jadi alesan kenapa saya gak ikutan heboh daftar PNS kayak orang-orang. Jadi beban kedua orangtua aja saya malu, apalagi jadi beban 200 juta penduduk Indonesia (udah nambah belum sih? Di lagunya Bang Haji sih sampe sekarang masih segitu :d *anak buah Rhoma Irama*). Yep, sesimpel itu sih.

Entah kenapa setiap ada yang ngebahas profesi PNS, apalagi kalo udah nyinggung stigma di masyarakat awam bahwa kerja PNS itu enak, santai, tapi dapet tunjangan ini itu, dapet pensiun pula, pasti selalu mengundang reaksi keras.

Yah, pada dasarnya semua orang memang gak ada sih yang senang dikritik.

Cuma, you know, menurut saya semua profesi itu sama aja, selalu punya dua sisi. Sisi baik dan sisi buruk. Tapi bukan karena profesinya, melainkan karena orangnya.

Saya dulu berpikir profesi wartawan itu cool banget. Tapi kenyataannya, jujur, sekarang saya lebih sering ngerasa minder daripada bangga. Kelakuan sebagian rekan kerja yang ‘belok’ (wartawan amplop, wartawan bodrex, de el el), berimbas pada seringnya saya dapet perlakuan atau denger komentar yang bikin kuping perih sampe meresap ke hati, ceileee…

Tersinggung? JELAS. Gak semua kali Pak, Bu, begitu, percayalah selalu ada pengecualian di dunia ini. Tapi saya menyikapinya gak dengan nyolot dan mendebat sampe berbusa-busa. Lah, faktanya memang gak semua wartawan atau media berada di jalan yang bener kok, mau diapain dong?

Ketimbang membela diri, saya milih kerja yang bener aja. Jadi wartawan yang lurus. Karena saya mencintai profesi ini dengan sepenuh hati. Sisanya biar orang lain yang menilai. Saya termasuk orang yang percaya bahwa untuk dianggap baik, kita gak perlu membuktikannya ke orang-orang. Cukup dengan kita menjadi baik saja. That’s it.

Nah, begitu juga profesi PNS. Faktanya, gak semua stigma negatif di mata sebagian orang itu salah. Saya sering liat orang-orang berseragam PNS seliweran di pasar atau ngewarung bukan di jam istirahat. Bahkan, main kartu di pinggir jalan.

Ini beneran loh. Saking gemesnya, pas kebetulan untuk kesekian kali saya liat oknum itu lagi ngejogrok main kartu di trotoar pas tengah hari bolong, dan kebetulan saat itu saya tau Satpol PP lagi ada razia, saya telepon aja temen di Satpol PP yang saya kenal baik, dan saya laporin. Hasilnya, si oknum memang bener-bener PNS dan alhasil diciduk.

Ada juga yang lucu nih. Baru-baru aja, saya mendatangi kantor sebuah instansi, jam belum nunjukin pukul 12. Tapi kantor itu sepi. Saya nyelonong aja dan menuju sebuah ruangan yang pintunya terbuka karena mendengar suara-suara. 

Sampe di mulut pintu, saya bengong. Tau apa yang saya liat? Para pegawainya lagi lesehan main kartu! Begitu tau yang datang wartawan, sekte aliran sesat itu pun bubar, ahaha…

Ya, semua profesi itu sama aja, selalu punya dua sisi. Sisi baik dan sisi buruk. Guru, dokter, polisi, pedagang, pejabat, aparat, semua.

Intinya, kenapa harus nyolot kalo dikritisi? Kalo emang omongan orang ada benernya. Terima aja. Yang penting, kita gak seperti itu.

Yang penting, niat di hati. Kita mau jadi PNS itu kenapa? Apa karena kerjanya enak, santai, dapet tunjangan ini itu, dan dapet pensiun pula, bukannya karena semangat pengabdian? Kalo gitu, ya jangan marah dikritik.

Yang penting, jadi apapun kita, luruskan niat…

*well, buat temen-temen yang berjuang daftar CPNS, semoga dimudahkan ya, sukses, hasilnya sesuai harapan, dan akhirnya jadi abdi negara yang tulus, aamiin ya Rabb :-)

Komentar