Konon setiap dua detik hutan seluas lapangan bola di muka bumi ini hilang akibat penebangan liar. Dampaknya sudah kita rasakan; kekeringan, banjir, meningkatnya pemanasan global, hingga punahnya satwa.
Ya, betapa mengerikan nasib hutan kita kini. Betapa tidak terbayangkan masa depan bumi kalo kondisi itu terus terjadi. Dan seharusnya sih, memikirkannya cukup untuk bikin kita gak bisa tidur nyenyak hari ini.
Tapi buat saya yang seumur hidup tinggal di kota, pengaruhnya sih gak sampe segitunya. Kalopun gak bisa tidur, biasanya karena banyak kerjaan, banyak pikiran, atau sedang merindukan kamu #uhuk.
Buat saya isu semacam kerusakan hutan tuh kayak malam-malam mati lampu gak ada lilin dan genset. Gelap. Sulit membayangkannya, karena saya hidup jauh dari hutan.
Orang kota seperti saya lebih akrab dengan masalah sampah, jalan rusak, atau saluran air yang mampet. Masalah-masalah itu nyata karena ada di depan mata.
Sementara kerusakan hutan, bukan gak penting, itu juga nyata, tapi secara psikologis 'terlalu jauh dari jangkauan', sehingga rasanya jadi gak berarti.
A tree falls in a forest with no one hearing it. Does it really fall?
The answer is yes. But who cares?
Mau pohon itu jatuh atau nggak, nggak ada artinya bagi orang-orang karena orang-orang ini tidak mendengar pohon itu jatuh.
(Gege Mengejar Cinta - Adhitya Mulya)
Yep, ketika apa yang terjadi di tengah hutan itu luput dari mata dan telinga kita, siapa yang peduli?
* * *
Sampe awal pekan lalu, saya ikut ngerecoki patroli Dinas Kehutanan Kabupaten Kotabaru ke kawasan hutan lindung di Desa Pantai Baru, Kecamatan Pulau Laut Tengah.
Gak begitu jauh dari pusat kota, perjalanan dengan mobil patroli sampe ke kaki gunungnya mungkin cuma memakan setengah jam. Dari sana ke hutannya yang ngos-ngosan, hehehe...
Apalagi buat saya yang gak biasa naik gunung, cuacanya panas banget lagi. Keringat seember, kepala pusing, dan kaki gemetaran, ampun deh.
Habis dari jalan aspal, mobil patroli berbelok melewati jalan tanah berbatu, melintasi kebun karet dan kebun jagung milik warga, lalu berhenti saat jalan menyempit dan menanjak sehingga mobil gak bisa lagi jalan terus.
Kami pun turun dan mulai berjalan kaki. Kami di sini adalah saya yang paling cuantik karena cewek sendiri dan bapak-bapak polisi hutan alias polhut yang berjumlah tujuh orang.
Belum lama kami jalan, kami langsung disambut pemandangan tumpukan kayu papan dan kayu balok dalam kondisi terikat, tampaknya sudah siap angkut. Jenisnya meranti dan keruing.
Mengingat ini adalah kawasan hutan lindung, jadi bisa dipastikan bahwa kayu-kayu itu adalah hasil penebangan liar. Ya, ini bukan lagi ilusi, tapi sudah terpampang nyata di depan mata.
Semakin masuk ke dalam hutan, terdengar suara mesin chainsaw menggerung-gerung. Sepertinya dekat, tapi sebenarnya jauh. Gak ada yang tau pasti dimana posisi penebangan sedang terjadi.
Suara mesin itu adalah satu-satunya petunjuk. Kalo mesinnya mati, otomatis tim patroli kehilangan arah. Oh my God! Ini sih sama kayak nyari jarum di tumpukan jerami.
Dan mesin yang gak berbunyi lagi juga sekaligus pertanda kedatangan petugas sudah diketahui oleh para penebang. Bagaimana itu bisa terjadi?
Kalo versinya bapak-bapak polhut itu sih, ada warga di desa yang jadi mata-mata. Dan mereka bisa aja membocorkan informasi kedatangan petugas melalui handphone, karena di atas gunung sinyal telepon kuat.
Saya menelan ludah. Gimana mau nangkep penjahatnya kalo caranya begini? Ini mah cuma buang-buang energi.
Dan memang pada akhirnya, setelah susah payah menembus hutan, sempat ketemu salah seorang penebang yang kebetulan turun dan gak sengaja berpapasan dengan petugas yang sedang melintas tapi kemudian berhasil melarikan diri.
Sempat juga dikejar pake motor yang ditemukan teronggok di tengah hutan, lagi-lagi gak ada pelaku yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Cuma kayu-kayu yang belum diangkut itu aja yang disita, itupun gak semuanya.
Kawasan hutan lindung di Pantai Baru ini udah sering dirazia. Dulu tumpukan kayu bisa dengan gampang ditemuin di kaki gunung. Petugas tinggal menaikkan ke truk.
Sekarang kayu-kayu itu sengaja ditaruh di tanjakan-tanjakan, sehingga sulit membawanya turun. Biasanya penebang membawa turun kayu-kayu itu menggunakan gerobak yang ditarik sapi atau kerbau.
Pada musim kemarau kayak sekarang ini, petugas makin kewalahan mengamankan hutan. Soalnya jalanan kering, akses untuk melarikan kayu makin mudah.
Komandan yang mimpin tim gak brenti nyumpah-nyumpah : jiancuuuk!
Sejauh jalan yang saya lalui, gak tampak kerusakan berarti di kawasan hutan lindung ini. Tapi nun jauh di dalamnya, aksi pengrusakan nyata terjadi.
Meski tak pernah ada tangan-tangan yang bisa ditangkap, tapi kayu-kayu yang telah terpotong itu dan suara mesin pemotong yang menderu-deru sudah lebih dari cukup jadi bukti, kan? Apalagi yang dirusak hutan lindung, yang fungsinya menyangga kehidupan manusia.
Menurut informasi si komandan, luas hutan di Kotabaru kira-kira 570 ribu hektare, polisinya cuma 23 orang. Sudah berulang kali diusulkan penambahan.
Belum lagi polhut yang ada ini udah tua-tua, gak dilengkapi sarana prasarana yang memadai pula. Jalan kaki menyusuri hutan, dengan alat komunikasi dan persenjataan seadanya.
Siang itu, tim patroli balik badan dengan tangan hampa. Belum juga nyampe bawah, suara mesin yang tadinya hening kembali mendesau memecah keheningan hutan.
Kesannya seperti mengolok-olok. Saya bayangkan, mungkin saat itu si penebang juga sedang tertawa-tawa.
CNN melaporkan, Rabu (21/3), penebangan liar di pelbagai kawasan dunia mereguk keuntungan haram sebesar USD 10 - 15 miliar. Bank Dunia menuding penjarahan kayu ini merupakan kejahatan terorganisir yang didukung oleh sistem pemerintahan korup. Karena untung melimpah, semakin banyak kawasan hutan yang kini dijarah para pembalak.Pada laporan hasil penelitian itu juga disebutkan rendahnya hukuman buat para pembalak hutan sebagai penyebab maraknya penebangan liar. Selama empat tahun terakhir, Bank Dunia memantau perkembangan kasus perusakan hutan yang sampai ke meja hijau di Brazil, Indonesia, Filipina, dan Meksiko. Hasilnya, pembalak yang dijatuhi hukuman tidak sampai 0,1 persen.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami penebangan liar terparah di dunia. Data Greenpeace pada 2007 mencatat hutan seluas 1,7 juta hektar rusak setiap tahun akibat kegiatan haram itu. (merdeka.com, 21/03/2012)
Komentar
Posting Komentar