Malasuang Manu adalah acara adat tahunan di Desa Teluk Aru, Kecamatan Pulau Laut Kepulauan, Kabupaten Kotabaru.
Saya sendiri belum pernah ke Desa Teluk Aru, dan udah lama banget pingin ke sana. Indah, katanya. Hati saya berbunga. Akhirnya!
Hari
Sabtu siang, saya pun berangkat dengan seorang temen. Perjalanan
dimulai dari terminal higa gunung. FYI, gak ada angkutan umum yang
melewati Desa Teluk Aru.
Pilihannya adalah naik angdes jurusan Tanjung
Lalak. Dari Desa Tanjung Lalak ke Desa Teluk Aru masih sekitar empat
kilometer lagi.
Kami sampe menjelang senja. Di Tanjung Lalak,
temen saya itu punya temen. Sebelum ke Desa Teluk Aru, kami nginep di
rumahnya dulu. Soalnya Ahad pagi baru acaranya. Besoknya, kami melanjutkan perjalanan dengan tumpangan gratis, hehe…
Malasuang Manu diadakan setiap tahun, antara bulan Maret-April. Satu-dua hari
sebelumnya, ada acara kayak perlombaan olahraga. Ada panggung hiburan
juga buat dangdutan. Trus, ada stan makanan tradisional. Semuanya
dipusatkan di pantai desa.
Kue warna-warni ini begitu menggoda buat dicoba. Gratis pula. Saya pun nyicipin satu-persatu. Tapi rasanya sama-sama aja, soalnya bahan dasarnya dari singkong semua, hahaha... Sementara temen saya gak minat nyobain apa-apa, dia cuma minum Aqua gelas. Tadinya saya pikir gini, "Gila, di tengah lautan makanan gini masih bisa diet."
Belakangan pas kami udah pulang dan nyampe rumah, saya tiba-tiba inget. Di perjalanan ketika kami baru berangkat, si temen sempet ngomong gini, "Kata mamaku, kalo disana kita ditawarin makanan olahan, jangan dimakan. Orang di sana biasa membuang wisa (googling aja). Kalo mau makan, beli makanan jadi dalam kemasan."
Glek. Tapi, sampe sekarang saya sehat-sehat aja, tuh. Ah, sekali lagi, stereotip.
Kalo rajin googling, banyak sekali artikel tentang acara adat Malasuang Manu ini. (Kayaknya) semuanya menyebut Malasuang Manu sebagai pesta muda-mudi dan identik dengan ritual mencari jodoh.
Tapi saya ketemu seorang bapak-bapak berbaju adat di pantai, dan saya mendapat cerita berbeda. Menurut si bapak, Malasuang Manu itu awalnya dari tradisi leluhur untuk mengobati kesurupan.
㇐jauh amat yak dari nyari jodoh
Dalam bahasa Mandar, Malasuang Manu artinya melepas ayam. Jadi, prosesi adat ini ditandai dengan pelepasan sepasang ayam. Entah gimana ceritanya ㇐mungkin terjadi pergeseran makna atau apa saya gak paham, sepasang ayam itu dianggap sebagai simbol cinta dan kasih sayang. Dan siapa yang bisa nangkep ayam itu setelah dilepas, kalo masih lajang, konon bisa segera dapet jodoh. Kalo udah punya pasangan? Yah, mungkin bakal cerai, trus dapet yang baru lagi, hahaha…
Seharusnya, pelepasan ayam dilakukan di sebuah pulau yang bernama Pulau Cinta. Saya gak tau pasti jaraknya, dari pantai pulaunya keliatan, mungkin sekitar 30 menitan kalo naik kapal. Tapi kata panitianya tahun ini kurang dana, jadi ayamnya dilepas di pantai aja.
Padahal, ke pulaunya itu yang sebenernya kami tunggu (cerita Pulau Cinta cek di posting berikutnya yaw!). Saya dan si temen kecewa. Udah jauh-jauh dateng, eh yang diliat begitu doang. Rasanya gak setimpal dengan beratnya perjalanan.
Tapi pas pulang, ketika kembali berjibaku dengan jalan rusak sepajang puluhan kilometer yang bikin kepala kleyengan dan isi perut jumpalitan, saya jadi berpikir,
“Sebuah perjalanan memang sering membawa kita kepada sesuatu yang di luar ekspektasi.
Itu bisa berarti lebih dari yang kita bayangin, tapi bisa juga ngecewain. Sama kayak kita ngejalani hidup.
Perjuangan gak selalu berbanding lurus dengan hasil. Kita boleh berharap yang terbaik, tapi juga harus siap kecewa."
Well, semoga tahun depan acaranya lebih baik. Dan, semoga masih ada kesempatan untuk kembali :-)
Komentar
Posting Komentar