"Jadi lo lebih milih kerja ya daripada kumpul sama keluarga?"
"Lebaran itu cuma setahun sekali loh."
Duh, habislah saya kena omel seorang temen gara-gara milih gak pulang kampung pas lebaran tahun ini.
But anyway postingan ini bukan mau bercerita tentang lebaran saya. Melainkan kisah lebaran seorang penyapu jalan, bernama Bude Rinem.
Malam itu, tepat malam lebaran, seperti biasa jalanan dimeriahkan dengan pawai mobil hias dan takbiran keliling. Saya menyelinap di antara kerumunan orang-orang, mencari sudut-sudut yang lebih menarik untuk jadi berita.
Kemeriahan itu mulai surut sekitar jam sebelas. Ketika manusia yang tadinya tumpah ruah perlahan lengang, yang tersisa hanyalah sampah bertebaran.
Selesai acara, saya gak langsung pulang. Kaki saya melangkah ke areal Siring Laut di depan Kantor Bupati Kotabaru. Jam segitu, siring masih 'hidup'. Di antara orang-orang yang sedang duduk-duduk, ada beberapa orang tampak mengayun sapu.
Barangkali kisah penyapu jalan yang bekerja ekstra di malam lebaran bukan sesuatu yang luar biasa karena udah sering jadi berita. Ketika saya menghampiri salah seorang dari penyapu jalan itu, saya belum tau akan membuat cerita seperti apa supaya jadi berbeda.
Penyapu jalan yang saya samperin itu seorang ibu-ibu, namanya Bude Rinem. Saya gak tau umurnya berapa, karena dia sendiri gak ingat.
Tapi di mata saya cukup tua untuk berkeliaran malam-malam dan mengerjakan sesuatu yang berat semacam membersihkan lautan sampah setelah orang-orang berpesta merayakan kepergian bulan puasa, entah apa yang membuat mereka begitu gembira.
"Tiap ada acara begini, biasanya saya
jadi terlambat pulang. Kalo biasanya selesai kerja jam satu, bisa molor
sampai jam dua atau jam tiga," katanya.
Saya agak lupa bagaimana obrolan kemudian sampai ke dimana Bude Rinem ini tinggal. Penjelasannya membuat saya mengernyit. Dia tinggal di belakang kantor bupati, di kuburan. Hah?
Saya sampe mengulang pertanyaan beberapa kali, untuk meyakinkan diri sendiri. Beneran tinggal di kuburan?
Karena satu dan lain hal, hari pertama lebaran saya gak langsung bertandang ke rumah Bude Rinem. Besoknya saya baru ke sana.
Saya sempet agak bingung. Saya gak tau kalo di belakang kantor bupati itu ada pekuburan, dan dari tepi jalan memang gak keliatan. Tapi saya berpatokan dengan kata-kata Bude Rinem, "Pokoknya di samping tempekong!"
Di situ saya cuma ngeliat ada bapak-bapak lagi ngaduk-ngaduk bak sampah. Saya tanya dimana rumah Bude Rinem, dia bilang gak tau. Tapi pas saya tanya dimana kuburan, dia bilang, "Di atas!"
Dia mengantarkan saya, tanpa diminta. Kuburan itu letaknya di tanah yang agak tinggi dari jalan raya dan untuk mencapainya saya harus menyibak rimbun pepohonan.
"Gak ada jalan lain ya ini?" tanya saya, heran.
Jawabnya, "Ya, biasanya sih memang lewat sini."
Saya memilih untuk percaya aja. Agak lama sampe saya menyadari bahwa saya udah berada di areal kuburan, soalnya banyak yang kondisinya ancur. Kayaknya kuburan tua gitu.
Pas tau setua apa, saya kaget banget. Ya ampun, ini sih pekuburan zaman Belanda! Bahkan, ada yang dikuburkan di situ yang memang orang Belanda. Wow... Mungkin kapan-kapan sejarah tempat ini perlu juga ditelusuri.
Tapi, saya belum menemukan yang sebenernya saya cari. Saya melihat-lihat sekitar, ada rumah-rumah kayu berdiri di dekat areal kuburan itu. Di salah satu rumah, saya melihat ibu-ibu sedang beraktivitas di dapurnya yang terbuka.
Saya pun bertanya, "Rumah Bude Rinem dimana, ya?"
"Mbah Rinem? Rumahnya di bawah, Mbak, kelewatan," katanya, lalu menyuruh seorang anaknya yang kecil menunjukkan jalan.
Ketika pencarian saya berakhir, saya baru menyadari sesuatu. Bahwa sebenernya rumah Bude Rinem itu deket banget sama jalan raya, gak perlu manjat-manjat dan lewat kuburan segala.
NGOK.
Dari luar sih, rumahnya keliatan layak aja. Begitu nengok dalamnya...
Hanya tersisa sedikit tempat untuk duduk dan tidur, selebihnya rumah
yang ditinggali Bude Rinem sama suaminya Pakde Tarjo, yang
dinding dan atapnya disusun dari papan dan seng bekas itu, sesak dengan
tumpukan barang rongsok.
Saya sempet mengikuti Bude Rinem ke dapur, pas
saya datang ternyata dia sedang memasak nasi dan sop daging. Duh, saya
takut banget lantainya runtuh.
Pakde Tarjo, yang juga berprofesi sebagai penyapu jalan, bercerita bahwa pekerjaanya tidak mengenal libur. Setelah orang-orang selesai salat Ied di Siring Laut dan meninggalkan kertas-kertas koran bekas alas salat begitu saja, dialah yang harus membersihkan.
"Sampe kapan Pakde, Bude, mau tinggal di sini? Kenapa gak ikut anak aja?" tanya saya, yang gak bisa membayangkan gimana rasanya tinggal di rumah mereka.
Pasangan ini punya tiga orang anak, semuanya tinggal terpisah dan tersebar. Tadinya saya pikir mereka akan beralasan karena anak-anak mereka yang bekerja serabutan kondisi ekonominya juga gak lebih baik.
Tapi Bude Rinem menjawab dengan kata-kata kurang lebih begini, "Masih kuat kerja ini. Malulah merepotkan anak-anak."
Duuussssssss.
Saat saya berpamitan pulang, Bude Rinem mengantar sampe ke jalan dan sempet ngasih petuah, "Nanti kalo cari suami, pilih yang udah kerja, ya."
Saya cuma ketawa, bingung kenapa tiba-tiba dia ngomong gitu.
Ah teman, lebaran bagimu mungkin libur panjang, kumpul keluarga, makanan melimpah ruah, baju baru, dan saling berkunjung.
Tapi bagi sebagian orang, lebaran tak ada beda dengan hari lain, masih saja harus bekerja keras seperti biasanya.
Dan ketika pulang, yang menanti hanyalah sepiring sop daging hambar.
Komentar
Posting Komentar