Untuk Pertama Kali, Saya Meragukan Jalan yang Saya Pilih


Saya lupa kapan persisnya, tapi rasanya baru-baru aja. Ada seorang bapak tiba-tiba menyapa saya ketika berpapasan di halaman kantor bupati.

"Kapan lagi ke Kerasian?" kata si bapak.

Saya sendiri gak ingat dia siapa. Kenapa ya saya susah banget menghafal waktu, jalan, dan muka orang? 

"Hah? Hehe... Kapan ya?" Saya menyahut sambil mikir keras.

Kami pernah kenal dimana ya?

Tapi pertanyaan itu kemudian jadi terlupakan begitu saja. Dan hari berlalu.

Jumat malam, di BlackBerry Messanger mendadak rame broadcast Pulau Kerasian diterjang angin puting beliung. Puluhan rumah dikabarkan rusak, bahkan ada warga yang luka-luka.

Besok paginya, saya pun ngikut rombongan dari Kotabaru yang membawa bantuan logistik untuk para korban musibah itu. Seperti biasa, hanya saya satu-satunya perempuan.

Meskipun bukan dalam situasi yang menyenangkan, tapi saya senang sekali balik lagi ke Pulau Kerasian karena bisa ketemu lagi dengan beberapa orang yang sudah saya anggap seperti keluarga.

Kami tiba di Desa Tanjung Lalak pukul lima sore lewat, setelah start dari kota sekitar pukul sepuluh pagi, hffftttt.... Bantuan logistik segera diturunkan dari mobil dan dimuat ke kapal. Saat kami datang itu, ada kapal yang baru merapat di dermaga dan membawa rombongan yang wajah-wajahnya saya gak kenal.

Tiba-tiba seorang diantaranya menyapa dan menyalami saya, "Ingat gak berapa hari yang lalu saya bilang, kapan mau ke Kerasian?"

Ummm... Krik krik...

"Saya gak tau kenapa saya pingin ngomong begitu. Eh sekarang ada kejadian ini, beneran jadi ke Kerasian, ya," sambung si bapak.

Oooo... Ini bapak yang kemaren ketemu saya di kantor bupati itu ternyata... Iya ya, aneh juga bisa kebetulan gitu...

Ngomong-ngomong, belakangan akhirnya saya tau ternyata si bapak adalah kepala desa, hehe... Padahal dulu saya ke rumahnya waktu pertama kali datang ke Pulau Kerasian, tapi kok saya bisa sama sekali gak ingat ya?

Setelah selesai bongkar muat logistik bantuan, saya dan rombongan pun segera bertolak ke Pulau Kerasian.  Kami tiba di dermaga desa ini tepat ketika masuk waktu magrib.

Logistik bantuan kembali dinaikkan ke darat dan diangkut ke kantor desa. Gak lama, warga desa yang menjadi korban puting beliung dikumpulkan di sana.

Sementara bantuan dibagikan, saya mengintili sebagian anggota rombongan yang berkeliling kampung untuk melihat rumah-rumah yang terdampak.

Tapi yang mau saya ceritakan sebenarnya bukan tentang detil perjalanan ini. Yang sebenarnya mau saya ceritakan, justru baru berawal ketika kami selesai berkeliling dan kembali ke kantor desa.

Sebentar... Saya masih merinding bila mengingat bagian ini... Saya sendiri gak tau baik atau tidak kalo saya menuliskan ini, tapi saya merasa perlu meringankan beban hati...

Tarik nafas... Buaaaang...

Oke, saya lanjutkan perlahan-lahan....

Saat saya dan rombongan kembali, pembagian paket bantuan masih berlangsung. Di situlah saya ketemu seorang bapak-bapak yang samar-samar saya ingat.

Si bapak ini tinggal sejalur dengan rumah Rusmiany, gadis malaikat yang memberi tumpangan tidur waktu  dulu saya pertama kali ke pulau ini.

Waktu itu, seperti penduduk desa yang lain, si bapak menyapa saya dengan ramah dan menawarkan untuk menginap di rumahnya.  Beruntungnya saya sudah harus pulang ke kota sehingga saya bisa menolak.

Nah, malam itu si bapak ada di kantor desa karena atap rumahnya ikut diamuk puting beliung. Saya menyapa lebih dulu dan dia meminta saya untuk mampir ke rumahnya.

Sampai di sini, tak ada firasat apapun.

Singkat cerita, rombongan berniat langsung kembali ke kota setelah distribusi bantuan ditunaikan. Tapi gambar yang saya ambil belum cukup, karena kami datang pas udah gelap, jadi saya gak dapat visual yang bagus tentang kerusakan akibat puting beliung.

Saya pun memutuskan tinggal, daripada sia-sia sudah jauh-jauh datang. Salah seorang anggota rombongan sempat mencoba membujuk agar saya ikut pulang bersama malam itu. Tapi atas nama tanggung jawab dengan pekerjaan saya kekeuh tetap tinggal.

Kepala rombongan menyetujui setelah saya memastikan tempat dimana saya akan menumpang tidur. Saya bahkan diantar ke rumah itu.

"Gak usahlah, saya bisa sendiri," kata saya kepada anggota rombongan yang ditugaskan mengantar.

"Jangan, mbak ini dalam tanggung jawab kami," sahutnya.

Wah... Mendengar jawabannya, kok mendadak dia jadi terlihat lebih ganteng di mata saya ya, whehehe...

Ngomong-ngomong, malam itu saya memutuskan untuk menginap di rumah si bapak yang saya temui di kantor desa itu. Saya sungkan mau nginap di rumah Rusmiany lagi, soalnya dulu itu dia dan ibunya repot sekali melayani saya ini itu. Saya jadi gak enak mau merepotkan lagi.

Di rumah si bapak itu, ada istrinya dan ada seorang anak laki-laki remaja. Saya belum lama berada di rumah si bapak dan baru selesai mandi ketika si bapak yang lagi duduk di meja makan memanggil saya untuk ikut duduk dan mencicipi kerupuk di meja.

Rumah itu seperti lazimnya rumah-rumah di Pulau Kerasian, model rumah tradisional pesisir yang berbentuk panggung dengan tangga di bagian depan rumah. Tapi bagian bawahnya sudah dimodifikasi sehingga rumah itu jadi bangunan dua lantai.

Kami berada di lantai dasar.

Si ibu dan  anak laki-laki ada di lantai atas menonton TV.

Di ruang tamu, dari tempat saya duduk di meja makan, saya bisa melihat ada rambut menyembul di salah satu kursi, kayaknya ada orang sih, laki-laki, tapi saya tidak tau siapa dan dia cuma diam. Sementara saya dan si bapak ngobrol.

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba pembicaraan si bapak jadi menjurus, bahkan kemudian memulai kontak fisik. Saya tidak akan merinci, yang jelas saya terkejut setengah mati karena tidak pernah terlintas sedikitpun di benak saya bahwa si bapak punya niat buruk. Apalagi di rumah itu ada istrinya.

Alarm di otak saya menyalakan tanda bahaya dan yang saya pikirkan hanya menyelamatkan diri.

Saya cepat-cepat naik ke lantai dua dan sempat menengok si ibu yang rebahan di depan TV, dia acuh tak acuh aja pas saya lewat. Kenapa saya merasa ada yang aneh dengan keluarga ini?

Saya pun langsung menuju pintu lalu lari menuruni tangga dengan jantung mau copot khawatir si bapak mengejar, meski saya gak mendengar langkah kaki di belakang saya.

Yang saya syukuri, di rumah itu saya belum sempat membongkar tas. Waktu mandi, tas ransel itu saya bawa. Keluar kamar mandi, tas itu dalam posisi tersampir di punggung saya.

Saya cuma nyaris ketinggalan sendal aja. Tanpa mempedulikan apapun, saya lari tanpa menoleh lagi sambil menenteng sendal. Nyeker. Gak tau kemana. Yang penting kabur dari si bapak. Dalam hati saya cuma bisa mengulang-ulang, mampus gue... mampussss...

Rasanya saya pingin nangis dan kalo bisa pulang malam itu juga. Kalo bisa berenang ya berenang. Tapi gak mungkin. Sialnya lagi saya lupa jalan ke rumah Rusmiany. Saya udah nanya ke beberapa orang, tapi herannya gak ada yang kenal. Saya hampir aja mau tidur di mesjid, kalo gak sengaja nengok ke sebuah gang dan melihat sebuah rumah yang saya kenal.

GOD! Thaaaaaaaaaaaanks...

Setelah yakin itu rumah yang saya cari, saya pun buru-buru mengetuk pintu. Rasanya legaaaaa sekali setelah masuk rumah. Sengaja sendal saya bawa ikut masuk untuk menutupi jejak, kali aja si bapak menyusul saya.

Seperti dulu, Rusmiany dan ibunya langsung aja repot menyiapkan penyambutan.

Setelah kami bersiap mau tidur, akhirnya saya gak tahan juga untuk gak bercerita. And guess what? Kata Rusmiany, dia sudah lama mendengar gosip tentang si bapak, tapi cerita sayalah yang bikin dia akhirnya benar-benar percaya. Masalahnya, si bapak ini di kampung sini dikenal sebagai tokoh agama.

W-h-a-t t-h-e f-*-*-k.

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan sekarang, bawa tidur," kata Rusmiany.

Saya menatap lurus ke langit-langit kamar yang gelap setelah Rusmiany mematikan lampu. Gimana mau tidur kalo jantung saya terus dag dig dug?

Jantung saya langsung berdegup  gak keruan setiap mendengar suara laki-laki berbicara di luar rumah atau di luar kamar. Saya memejamkan mata kuat-kuat, berpura-pura tidur. Tapi saya nyaris gak tidur semalaman itu.

Saya ingin menyalahkan, andai rombongan memperhitungkan waktu dengan baik untuk perjalanan pulang pergi, ini tidak akan kejadian. 

Saya ingin menyalahkan diri sendiri, yang selalu berpikir semua orang baik kalo kita juga berniat baik. 

Dan dalam kecamuk pikiran itu, tiba-tiba saya mendengar hati kecil saya bertanya, gilaaa gue dapet apa sih dari ngelakuin ini semua?

Saya sudah pernah 'hilang' di laut lepas, saya juga pernah diancam mau 'dihabisi' orang, tapi saya belum pernah merasa setakut kali ini.

Tangis saya pecah dalam diam.

Keyakinan saya perlahan luruh.

Untuk pertama kali, saya meragukan jalan hidup yang telah saya pilih.

Komentar

Posting Komentar